Menurut Ustadz Fatih Karim, Founder dan sekaligus CEO Cinta Quran, mengatakan bahwa saat ini semakin banyak masyarakat Indonesia yang telah menerapkan gaya hidup syariah. Hal tersebut dapat dilihat dari wanita – wanita berhijab yang semakin banyak bermunculan, banyak bank yang menerapkan sistem perbankan syariah, bahkan sampai property syariah yang kian populer.
Selain gaya hidup, ekonomi ekonomi syariah juga memiliki potensi yang besar. Sebagaimana laporan State of the Global Islamic Economy 2018/2019 yang diterbitkan oleh Thompson Reuters, yang didapati bahwa Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia telah mengeluarkan dana sebesar 218.8 milyar US$ untuk sektor ekonomi islam di tahun 2017. 215 penduduk islam di Indonesia menjadi representasi populasi muslim di dunia sebesar 13% (2015).
Maka tidak heran jika Risang Wijanarko, Kepala Pengembangan Bisnis Sharianews berpendapat bahwa finansial teknologi syariah selain dapat menumbuhkan kultur entrepreneurship dan investasi juga dapat memberikan kemudahan dalam bertransaksi di dunia perbankan dan keuangan.
Melihat peluang dan potensi ini, para developer properti syariah mulai ikut ambil bagian. Mereka menawarkan berbagai pilihan properti yang berbasis syariah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dari bank pun kini perlahan mulai ditinggalkan, dengan alasan menghindari riba.
Masyarakat Muslim, terutama yang baru hijrah merasa lebih nyaman dengan transaksi pembelian rumah yang sesuai syariah. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa di dalam islam, riba termasuk ke dalam hal yang dilarang.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai properti syariah, tentu kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu perumahan syariah. Secara umum, perumahan syariah dapat diartikan sebagai jenis properti yang sistem transaksinya menerapkan prinsip syariah islam.
Pada prinsipnya, property syariah menghilangkan unsur riba di dalam transaksinya. Transaksi yang dilakukan hanya terjadi antara pihak pembeli dan developernya saja, tanpa melibatkan bank sebagai pihak ketiga.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas property syariah, beberapa diantaranya adalah:
Developer property syariah tidak bekerja sama dengan pihak bank sebagai pihak ketiga baik dalam hal pembiayaan pembangunan proyek maupun Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dengan konsumen.
Biasanya pembiayaan perumahan syariah bersumber dari pihak developernya sendiri ataupun dari investor yang tertarik untuk bekerja sama. Hal tersebut tentu sesuai dengan skema bagi hasil yang sesuai dengan syariah.
Implikasinya, akad yang dilakukan adalah akad jual beli antara pihak developer dengan konsumennya secara langsung. Developer bertindak sebagai penjual, sedangkan konsumennya bertindak sebagai pembeli. Tidak ada bank sebagai pihak ketiga layaknya pada properti konvensional.
Tanpa adanya keterlibatan bank pada pembiayaan pembangunan proyek, mendorong developer property syariah untuk menerapkan akad istishna. Sederhananya, istishna adalah skema transaksi pesan bangun atau indent.
Sebelum mendapatkan rumah yang diinginkan, maka konsumen harus memesan dan membayarnya terlebih dahulu baik secara tunai maupun cicilan. Sebelum akad dilakukan, developer menunjukan harga perumahan yang akan dibeli, yang nilainya tetap, tidak tergantung pada suku bunga bank.
Konsep property syariah pada dasarnya adalah menerapkan sistem transaksi tanpa bank, tanpa BI Checking, Tanpa Bunga, Tanpa Denda, Tanpa Sita dan Tanpa Akad yang bermasalah.
Transaksi jual beli rumah dilakukan langsung antara konsumen sebagai pembeli dan developer sebagai penjual. Tidak ada keterlibatan pembiayaan bank sebagai pihak ketiga.
Tidak adanya keterlibatan bank pada transaksi jual beli rumah menjadikan proses BI Checking tidak diperlukan lagi. Seperti yang telah dijelaskan pada artikel sebelumnya (Kebutuhan Perumahan di Bandung Tidak Sebanding dengan Perumahan yang Tersedia), bahwa BI Checking ini menjadi salah satu hambatan bagi para pekerja informal yang memiliki impian untuk memiliki rumah sendiri.
Oleh karenanya properti syariah menawarkan kemudahan dalam bertransaksi yang cenderung lebih simple dan insyaAllah berkah.
Sama halnya dengan properti konvensional, properti syariah juga membedakan harga rumah secara tunai dengan harga cicilan. Hal ini tentu masih diperbolehkan oleh syariah. Hanya saja nilai cicilan perumahan syariah sifatnya tetap hingga pembayarannya lunas, tidak dipengaruhi oleh naik turunnya suku bank.
Di Properti syariah tidak ada sistem denda kepada konsumennya yang telat membayar cicilan. Untuk mengatasi keterlambatan, langkah pertama yang dilakukan developer biasanya menghubungi konsumennya terlebih dahulu ataupun memberikan peringatan sebagai pengingat pada komitmen pembayaran cicilan seperti yang telah disepakati sebelumnya.
Permasalah pembayaran cicilan oleh konsumen, tidak otomatis membuatnya dikenakan sita. Biasanya pihak developer mengajak konsumennya bermusyawarah untuk menemukan solusi terbaik yang bisa diambil, misalnya menjual rumah tersebut yang akan dibantu oleh pihak developernya.
Dalam transaksi jual beli, akad adalah salah satu hal yang sangat penting, karena menentukan sah tidaknya suatu transaksi. Supaya transaksi yang kita lakukan bernilai sah dan terhindar dari gharar (tidak jelas), maka kita harus mengetahui syarat rukunnya.
Menurut QS. Al-Baqarah ayat 275, hal – hal yang termasuk rukun akad adalah pihak yang berakad, objek atau benda, tujuan yang jelas dan ijab kabul. Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh mengenai akad bathil atau akad bermasalah, silahkan kunjungi Perbedaan Akad Shahih dan Akad Bathil.
Baca juga: Perbedaan Akad Shahih Dan Akad Bathil
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka bisa diambil kesimpulan bahwa yang menjadi perbedaan antara properti syariah dan properti konvensional adalah:
Properti Syariah | Properti Konvensional |
---|---|
Pihak yang terlibat hanya developer dan pembeli saja | Pihak yang terlibat adalah bank, developer, dan pembeli |
Tanpa Denda | Ada denda |
Tanpa Sita | Ada sita |
Tidak ada penalti | Ada penalti |
Tanpa BI Checking | Ada BI Checking |
Ketika akan menentukan apakah akan mengambil properti syariah atau properti konvensional, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu kelebihan dan kekurangan properti syariah berikut ini:
Tidak adanya keterlibatan bank pada sistem transaksinya, KPR Syariah tidak tergantung pada suku bunga bank. Sehingga nilai cicilannya dapat diprediksi karena nilainya tetap hingga cicilannya lunas. Secara tidak langsung kita dapat melakukan perencanaan keuangan dengan lebih baik.
Tidak seperti KPR konvensional, ketika kita ingin melunasi cicilan lebih awal, property syariah tidak menerapkan penalti.
Kelebihan lain yang dimiliki property syariah adalah tidak adanya BI Checking, yang memudahkan calon konsumen untuk mendapatkan rumah impian, terutama para pekerja informal. Seringkali impian para pekerja informal ini terhenti akibat adanya proses BI Checking dengan alasan seperti tidak adanya izin usaha ataupun laporan keuangan yang memadai.
Jumlah cicilan yang tetap dan tidak dipengaruhinya suku bunga bank pada KPR syariah, membuat konsumennya tidak bisa menikmati pembayaran cicilan yang rendah ketika suku bunga sedang turun. Namun tentu saja kembali ke niat semula, apakah konsumen tersebut mempertimbangkan masalah riba atau tidak.
Kekurangan lainnya adalah, tenor maksimal pada property syariah biasanya hanya sampai 15 tahun saja, sedangkan pada properti konvensional masa tenornya bisa sampai 25 tahun.
Baca juga: Ini Dia, 4 Alasan Konsumen Membeli Perumahan Syariah!
Menurut Ustadz Fatih Karim, Founder dan sekaligus CEO Cinta Quran, mengatakan bahwa saat ini semakin banyak masyarakat Indonesia yang telah menerapkan gaya hidup syariah. Hal tersebut dapat dilihat dari wanita – wanita berhijab yang semakin banyak bermunculan, banyak bank yang menerapkan sistem perbankan syariah, bahkan sampai property syariah yang kian populer.
Selain gaya hidup, ekonomi ekonomi syariah juga memiliki potensi yang besar. Sebagaimana laporan State of the Global Islamic Economy 2018/2019 yang diterbitkan oleh Thompson Reuters, yang didapati bahwa Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia telah mengeluarkan dana sebesar 218.8 milyar US$ untuk sektor ekonomi islam di tahun 2017. 215 penduduk islam di Indonesia menjadi representasi populasi muslim di dunia sebesar 13% (2015).
Maka tidak heran jika Risang Wijanarko, Kepala Pengembangan Bisnis Sharianews berpendapat bahwa finansial teknologi syariah selain dapat menumbuhkan kultur entrepreneurship dan investasi juga dapat memberikan kemudahan dalam bertransaksi di dunia perbankan dan keuangan.
Melihat peluang dan potensi ini, para developer properti syariah mulai ikut ambil bagian. Mereka menawarkan berbagai pilihan properti yang berbasis syariah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dari bank pun kini perlahan mulai ditinggalkan, dengan alasan menghindari riba.
Masyarakat Muslim, terutama yang baru hijrah merasa lebih nyaman dengan transaksi pembelian rumah yang sesuai syariah. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa di dalam islam, riba termasuk ke dalam hal yang dilarang.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai properti syariah, tentu kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu perumahan syariah. Secara umum, perumahan syariah dapat diartikan sebagai jenis properti yang sistem transaksinya menerapkan prinsip syariah islam.
Pada prinsipnya, property syariah menghilangkan unsur riba di dalam transaksinya. Transaksi yang dilakukan hanya terjadi antara pihak pembeli dan developernya saja, tanpa melibatkan bank sebagai pihak ketiga.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas property syariah, beberapa diantaranya adalah:
Developer property syariah tidak bekerja sama dengan pihak bank sebagai pihak ketiga baik dalam hal pembiayaan pembangunan proyek maupun Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dengan konsumen.
Biasanya pembiayaan perumahan syariah bersumber dari pihak developernya sendiri ataupun dari investor yang tertarik untuk bekerja sama. Hal tersebut tentu sesuai dengan skema bagi hasil yang sesuai dengan syariah.
Implikasinya, akad yang dilakukan adalah akad jual beli antara pihak developer dengan konsumennya secara langsung. Developer bertindak sebagai penjual, sedangkan konsumennya bertindak sebagai pembeli. Tidak ada bank sebagai pihak ketiga layaknya pada properti konvensional.
Tanpa adanya keterlibatan bank pada pembiayaan pembangunan proyek, mendorong developer property syariah untuk menerapkan akad istishna. Sederhananya, istishna adalah skema transaksi pesan bangun atau indent.
Sebelum mendapatkan rumah yang diinginkan, maka konsumen harus memesan dan membayarnya terlebih dahulu baik secara tunai maupun cicilan. Sebelum akad dilakukan, developer menunjukan harga perumahan yang akan dibeli, yang nilainya tetap, tidak tergantung pada suku bunga bank.
Konsep property syariah pada dasarnya adalah menerapkan sistem transaksi tanpa bank, tanpa BI Checking, Tanpa Bunga, Tanpa Denda, Tanpa Sita dan Tanpa Akad yang bermasalah.
Transaksi jual beli rumah dilakukan langsung antara konsumen sebagai pembeli dan developer sebagai penjual. Tidak ada keterlibatan pembiayaan bank sebagai pihak ketiga.
Tidak adanya keterlibatan bank pada transaksi jual beli rumah menjadikan proses BI Checking tidak diperlukan lagi. Seperti yang telah dijelaskan pada artikel sebelumnya (Kebutuhan Perumahan di Bandung Tidak Sebanding dengan Perumahan yang Tersedia), bahwa BI Checking ini menjadi salah satu hambatan bagi para pekerja informal yang memiliki impian untuk memiliki rumah sendiri.
Oleh karenanya properti syariah menawarkan kemudahan dalam bertransaksi yang cenderung lebih simple dan insyaAllah berkah.
Sama halnya dengan properti konvensional, properti syariah juga membedakan harga rumah secara tunai dengan harga cicilan. Hal ini tentu masih diperbolehkan oleh syariah. Hanya saja nilai cicilan perumahan syariah sifatnya tetap hingga pembayarannya lunas, tidak dipengaruhi oleh naik turunnya suku bank.
Di Properti syariah tidak ada sistem denda kepada konsumennya yang telat membayar cicilan. Untuk mengatasi keterlambatan, langkah pertama yang dilakukan developer biasanya menghubungi konsumennya terlebih dahulu ataupun memberikan peringatan sebagai pengingat pada komitmen pembayaran cicilan seperti yang telah disepakati sebelumnya.
Permasalah pembayaran cicilan oleh konsumen, tidak otomatis membuatnya dikenakan sita. Biasanya pihak developer mengajak konsumennya bermusyawarah untuk menemukan solusi terbaik yang bisa diambil, misalnya menjual rumah tersebut yang akan dibantu oleh pihak developernya.
Dalam transaksi jual beli, akad adalah salah satu hal yang sangat penting, karena menentukan sah tidaknya suatu transaksi. Supaya transaksi yang kita lakukan bernilai sah dan terhindar dari gharar (tidak jelas), maka kita harus mengetahui syarat rukunnya.
Menurut QS. Al-Baqarah ayat 275, hal – hal yang termasuk rukun akad adalah pihak yang berakad, objek atau benda, tujuan yang jelas dan ijab kabul. Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh mengenai akad bathil atau akad bermasalah, silahkan kunjungi Perbedaan Akad Shahih dan Akad Bathil.
Baca juga: Perbedaan Akad Shahih Dan Akad Bathil
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka bisa diambil kesimpulan bahwa yang menjadi perbedaan antara properti syariah dan properti konvensional adalah:
Properti Syariah | Properti Konvensional |
---|---|
Pihak yang terlibat hanya developer dan pembeli saja | Pihak yang terlibat adalah bank, developer, dan pembeli |
Tanpa Denda | Ada denda |
Tanpa Sita | Ada sita |
Tidak ada penalti | Ada penalti |
Tanpa BI Checking | Ada BI Checking |
Ketika akan menentukan apakah akan mengambil properti syariah atau properti konvensional, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu kelebihan dan kekurangan properti syariah berikut ini:
Tidak adanya keterlibatan bank pada sistem transaksinya, KPR Syariah tidak tergantung pada suku bunga bank. Sehingga nilai cicilannya dapat diprediksi karena nilainya tetap hingga cicilannya lunas. Secara tidak langsung kita dapat melakukan perencanaan keuangan dengan lebih baik.
Tidak seperti KPR konvensional, ketika kita ingin melunasi cicilan lebih awal, property syariah tidak menerapkan penalti.
Kelebihan lain yang dimiliki property syariah adalah tidak adanya BI Checking, yang memudahkan calon konsumen untuk mendapatkan rumah impian, terutama para pekerja informal. Seringkali impian para pekerja informal ini terhenti akibat adanya proses BI Checking dengan alasan seperti tidak adanya izin usaha ataupun laporan keuangan yang memadai.
Jumlah cicilan yang tetap dan tidak dipengaruhinya suku bunga bank pada KPR syariah, membuat konsumennya tidak bisa menikmati pembayaran cicilan yang rendah ketika suku bunga sedang turun. Namun tentu saja kembali ke niat semula, apakah konsumen tersebut mempertimbangkan masalah riba atau tidak.
Kekurangan lainnya adalah, tenor maksimal pada property syariah biasanya hanya sampai 15 tahun saja, sedangkan pada properti konvensional masa tenornya bisa sampai 25 tahun.
Baca juga: Ini Dia, 4 Alasan Konsumen Membeli Perumahan Syariah!