Sahabat, selain dikenal sebagai makhluk sosial, manusia juga dikenal sebagai makhluk ekonomi atau homo economicus.
Hal ini didasarkan pada fitrah manusia yang selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mencapai kesejahteraan.
Hanya saja, kita sebagai muslim dituntut untuk tunduk patuh terhadap syariat islam ketika bermuamalah. Hal ini bukan untuk mempersulit atau membatasi ruang gerak kita ketika berikhtiar. Melainkan mempermudah dan melindungi hak-hak kita dari transaksi yang batil.
Saat bertransaksi jual beli, kita dilarang untuk melakukan riba, sebagaimana perintah Allah SWT pada surah Al-Baqarah ayat 275.
Perintah dan larangan tersebut tidak datang dengan tanpa alasan. Ada banyak alasan mengapa Allah mengharamkan riba. Dan yang pasti, larangan ini turun sebagai salah satu bentuk kasih sayang Allah SWT kepada kita, supaya terhindar dari transaksi yang merugikan.
Allah SWT telah menjadikan riba sebagai ujian keimanan seseorang. Seseorang bisa dikatakan beriman ketika ia meninggalkan riba.
Sebaliknya, keimanan seseorang belum sempurna ketika ia masih melakukan transaksi riba, padahal ia telah mengetahui bahwa riba itu terlarang.
Meninggalkan riba juga menjadi salah satu indikasi ketakwaan seseorang. Orang yang bertakwa akan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ketika Allah SWT melarang transaksi riba, maka sudah tentu ia akan menjauhinya.
Bahkan, orang yang bertakwa tidak hanya meninggalkan yang jelas-jelas haram, sesuatu yang dianggap syubhat pun akan ia tinggalkan.
Rasulullah SAW telah menjelaskan hal ini dalam salah satu hadisnya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah menulis dalam berkata pada kitab I’lamul Muwaqqi’in bahwa ada tiga karakter orang saat berhadapan dengan harta benda.
Pertama, Adil. Orang yang adil adalah orang yang memperjual belikan hartanya sesuai dengan ajaran islam.
Kedua, Zalim. Orang yang zalim terhadap hartanya adalah orang yang memasukkan unsur riba di dalamnya.
Ketiga, Keutamaan. Keutamaan saat mengelola harta benda yang dimilikinya adalah dengan bersedekah.
Dari keterangan di atas, maka kita bisa melihat bahwa riba bertolak belakang dengan sedekah dan tidak bisa disamakan dengan jual beli.
Baca juga: Kenali Perbedaan Jual Beli dan Riba Biar Transaksi Makin Berkah
Salah satu alasan mengapa Allah mengharamkan riba adalah karena perbuatan ini bisa mengantarkan pelakunya kepada perbuatan zalim.
Pada salah satu firman-Nya, Allah SWT menyebutkan bahwa orang yang menghindari riba berarti menghindarkan diri dari perbuatan aniaya kepada orang lain. Ia juga akan terhindar dari aniaya oleh orang lain.
Ketika seseorang melakukan praktik riba, maka sesungguhnya orang tersebut telah berbuat zalim kepada orang lain. Karena ia mengambil harta sesamanya dengan cara yang batil.
Ilustrasinya seperti ini. Ketika si A meminjamkan uang 100 ribu kepada si B, ia mensyaratkan pengembalian uang tersebut ditambah 10 ribu menjadi 110 ribu setelah satu bulan peminjaman. 10 ribu tambahan yang diminta A adalah riba.
Padahal si B sedang mengalami kesulitan, sehingga terpaksa meminjam uang kepada orang lain.
Sebagai muslim sudah selayaknya saling tolong menolong tanpa meminta tambahan apapun.
Ketika si A meminta tambahan kepada si B atas pinjaman yang diberikan, disadari atau tidak, sesungguhnya ia telah berbuat zalim.
Bahaya riba yang satu ini mungkin tidak langsung terlihat di dunia, melainkan akan diperlihatkan oleh Allah saat di akhirat kelak. Sehingga hanya orang beriman yang akan mudah menerimanya.
Saat dibangkitkan dari kuburnya, maka orang pemakan riba akan dihinakan oleh Allah di hadapan seluruh makhluk. Saking hinanya, ia diibaratkan seperti orang kesurupan lagi gila ketika dibangkitkan.
Mengenai hal ini sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa orang yang memakan harta riba akan dibangkitkan dari kuburnya seperti orang yang gila dan tercekik.
Penjelasan yang serupa datang dari para alim ulama seperti Qatadah, Sa’id bin Jubair, dan Ibnu Zaid, sebagaimana yang telah ditulis pada tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari.
Ancaman ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama. Karena bahayanya tidak main-main. Para pelaku riba diancam masuk ke dalam api neraka oleh Allah SWT. Bahkan lebih parahnya lagi bisa kekal di dalamnya, sebagaimana firman Allah SWT.
Ancaman siksa neraka terhadap para pelaku riba juga menunjukan bahwa aktivitas tersebut termasuk ke dalam dosa besar. Banyak penjelasan dari kalangan para ulama mengenai hal ini. Salah satunya adalah Imam Adz-Dzahabi.
Beliau menjelaskan bahwa perbuatan yang pelakunya mendapat ancaman berupa azab di akhirat atau kutukan dari lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka perbuatan tersebut termasuk kategori dosa besar.
Dalam banyak hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam malah menyebutkan secara langsung riba sebagai dosa besar. Misalnya saja hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Menurut salah satu firman-Nya, Allah SWT menjanjikan akan menghapuskan dan memusnahkan riba,
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa, redaksi kata “memusnahkan riba”, artinya bahwa Allah akan memusnahkan riba di tangan pelakunya. Bisa saja pelakunya mendapatkan harta, namun Allah halangi keberkahan atas harta tersebut.
Dengan kata lain, pelaku riba tidak akan mendapatkan kemanfaatan harta tersebut di dunia. Malahan dia akan mendapatkan siksa di akhirat atas harta yang didapatkan dari riba.
Penafsiran Ibnu Katsir ini didukung banyak hadis, salah satunya adalah hadis berikut ini,
Keterangan di atas memang sesuai dengan realita yang ada saat ini. Jika kita mengikuti update status netizen yang hijrah dari riba di berbagai media sosial seperti Facebook dan Quora. Maka bisa didapati bahwa banyak dari mereka yang merasa hidupnya berubah 180 derajat setelah hijrah.
Misalnya ada salah satu pengguna Quora mantan pegawai Bank BUMN, yang bersedia menceritakan perjalanan hidupnya sebelum dan sesudah hijrah.
Saat belum hijrah, beliau tidak dapat merasakan ketenangan dalam hidupnya. Setiap hari pergi pagi-pulang malam hari, hingga sering didapati anak istrinya sudah terlelap tidur ketika pulang kerja.
Begitupun saat beribadah, tidak ada kekhusyukan saat melaksanakannya. Ketika dituntut harus ingat Allah saat beribadah, ia malah ingat pekerjaan yang tidak berujung.
Padahal kalau dilihat dari sisi dunia, seharusnya beliau merasakan kebahagian. Jabatan yang diembannya sudah selevel wakil Kepala Cabang di salah satu Bank BUMN. Gaji pokoknya sudah mencapai angka dua digit. Belum lagi ditambah bonus dan lainnya.
Seharusnya beliau merasakan lebih dari kata cukup dari segi materi. Namun nyatanya tidak demikian.
Beliau malah menuturkan bahwa penghasilan yang telah ia dapatkan di bank selama delapan tahun tidak terasa hilang kemana. Seolah Allah memusnahkan harta hasil riba tersebut hingga kembali ke titik nol.
Alhamdulillah, setelah beliau hijrah kehidupannya mulai berbalik. Meski pendapatannya tidak sebesar sebelumnya ketika di bank, beliau lebih banyak mendapatkan kenikmatan dan ketenangan. Anak dan istrinya yang sebelumnya sering sakit-sakitan, kini selalu diberi kesehatan. Kesehariannya tidak lagi dihantui beban pekerjaan, malah orderan dari bisnisnya terus berdatangan.
Mudah-mudahan perjalanan hidup para pejuang hijrah dari riba seperti beliau memberikan motivasi kepada kita untuk senantiasa menghindari riba. Aamiin…
Dalam salah satu firman-Nya, Allah mengkategorikan pemakan riba sebagai Orang yang berbuat ingkar/ kekafiran.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa pemakan riba tidak merasa cukup atas rezeki halal yang telah Allah berikan. Sehingga ia berusaha dengan cara yang batil untuk mengeruk harta orang lain.
Tidak ada ancaman yang paling mengerikan kepada pelaku riba selain ancaman perang dari Allah SWT.
Sahabat, kalau kita kaji lebih dalam, ternyata Allah tidak pernah menyatakan perang kepada pelaku dosa, selain dalam dua hal, yaitu pelaku riba dan perampokan/pembunuhan.
Keduanya sama-sama membuat kerusakan di muka bumi meskipun dengan cara yang berbeda.
Perampok membuat kerusakan dengan melakukan kesewenang-wenangan kepada orang lain dengan kekuatannya. Sedangkan pelaku riba melakukan kerusakan dengan berbuat zalim kepada orang lain yang sedang mengalami kesusahan.
Maka tidak heran jika Allah SWT menantang langsung perang kepada para pelaku riba. Karena dosa yang diakibatkannya bukan lagi menjadi urusan pribadi, melainkan sudah menyangkut kemaslahatan umat.
Ada banyak alasan mengapa Allah mengharamkan riba. Karena demikian besarnya bahaya riba, Allah sampai mengancam keras bagi para pelakunya. Hal demikian Allah tetapkan demi kebaikan kita sendiri supaya terhindar dari perbuatan aniaya terhadap orang lain. Wallahu ‘alam
Baca juga: Penjelasan Mengenai Riba Yang Dihalalkan Menurut Surat Ar-Rum
(Diedit oleh Nizar Tegar)
Sahabat, selain dikenal sebagai makhluk sosial, manusia juga dikenal sebagai makhluk ekonomi atau homo economicus.
Hal ini didasarkan pada fitrah manusia yang selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mencapai kesejahteraan.
Hanya saja, kita sebagai muslim dituntut untuk tunduk patuh terhadap syariat islam ketika bermuamalah. Hal ini bukan untuk mempersulit atau membatasi ruang gerak kita ketika berikhtiar. Melainkan mempermudah dan melindungi hak-hak kita dari transaksi yang batil.
Saat bertransaksi jual beli, kita dilarang untuk melakukan riba, sebagaimana perintah Allah SWT pada surah Al-Baqarah ayat 275.
Perintah dan larangan tersebut tidak datang dengan tanpa alasan. Ada banyak alasan mengapa Allah mengharamkan riba. Dan yang pasti, larangan ini turun sebagai salah satu bentuk kasih sayang Allah SWT kepada kita, supaya terhindar dari transaksi yang merugikan.
Allah SWT telah menjadikan riba sebagai ujian keimanan seseorang. Seseorang bisa dikatakan beriman ketika ia meninggalkan riba.
Sebaliknya, keimanan seseorang belum sempurna ketika ia masih melakukan transaksi riba, padahal ia telah mengetahui bahwa riba itu terlarang.
Meninggalkan riba juga menjadi salah satu indikasi ketakwaan seseorang. Orang yang bertakwa akan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ketika Allah SWT melarang transaksi riba, maka sudah tentu ia akan menjauhinya.
Bahkan, orang yang bertakwa tidak hanya meninggalkan yang jelas-jelas haram, sesuatu yang dianggap syubhat pun akan ia tinggalkan.
Rasulullah SAW telah menjelaskan hal ini dalam salah satu hadisnya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah menulis dalam berkata pada kitab I’lamul Muwaqqi’in bahwa ada tiga karakter orang saat berhadapan dengan harta benda.
Pertama, Adil. Orang yang adil adalah orang yang memperjual belikan hartanya sesuai dengan ajaran islam.
Kedua, Zalim. Orang yang zalim terhadap hartanya adalah orang yang memasukkan unsur riba di dalamnya.
Ketiga, Keutamaan. Keutamaan saat mengelola harta benda yang dimilikinya adalah dengan bersedekah.
Dari keterangan di atas, maka kita bisa melihat bahwa riba bertolak belakang dengan sedekah dan tidak bisa disamakan dengan jual beli.
Baca juga: Kenali Perbedaan Jual Beli dan Riba Biar Transaksi Makin Berkah
Salah satu alasan mengapa Allah mengharamkan riba adalah karena perbuatan ini bisa mengantarkan pelakunya kepada perbuatan zalim.
Pada salah satu firman-Nya, Allah SWT menyebutkan bahwa orang yang menghindari riba berarti menghindarkan diri dari perbuatan aniaya kepada orang lain. Ia juga akan terhindar dari aniaya oleh orang lain.
Ketika seseorang melakukan praktik riba, maka sesungguhnya orang tersebut telah berbuat zalim kepada orang lain. Karena ia mengambil harta sesamanya dengan cara yang batil.
Ilustrasinya seperti ini. Ketika si A meminjamkan uang 100 ribu kepada si B, ia mensyaratkan pengembalian uang tersebut ditambah 10 ribu menjadi 110 ribu setelah satu bulan peminjaman. 10 ribu tambahan yang diminta A adalah riba.
Padahal si B sedang mengalami kesulitan, sehingga terpaksa meminjam uang kepada orang lain.
Sebagai muslim sudah selayaknya saling tolong menolong tanpa meminta tambahan apapun.
Ketika si A meminta tambahan kepada si B atas pinjaman yang diberikan, disadari atau tidak, sesungguhnya ia telah berbuat zalim.
Bahaya riba yang satu ini mungkin tidak langsung terlihat di dunia, melainkan akan diperlihatkan oleh Allah saat di akhirat kelak. Sehingga hanya orang beriman yang akan mudah menerimanya.
Saat dibangkitkan dari kuburnya, maka orang pemakan riba akan dihinakan oleh Allah di hadapan seluruh makhluk. Saking hinanya, ia diibaratkan seperti orang kesurupan lagi gila ketika dibangkitkan.
Mengenai hal ini sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa orang yang memakan harta riba akan dibangkitkan dari kuburnya seperti orang yang gila dan tercekik.
Penjelasan yang serupa datang dari para alim ulama seperti Qatadah, Sa’id bin Jubair, dan Ibnu Zaid, sebagaimana yang telah ditulis pada tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari.
Ancaman ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama. Karena bahayanya tidak main-main. Para pelaku riba diancam masuk ke dalam api neraka oleh Allah SWT. Bahkan lebih parahnya lagi bisa kekal di dalamnya, sebagaimana firman Allah SWT.
Ancaman siksa neraka terhadap para pelaku riba juga menunjukan bahwa aktivitas tersebut termasuk ke dalam dosa besar. Banyak penjelasan dari kalangan para ulama mengenai hal ini. Salah satunya adalah Imam Adz-Dzahabi.
Beliau menjelaskan bahwa perbuatan yang pelakunya mendapat ancaman berupa azab di akhirat atau kutukan dari lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka perbuatan tersebut termasuk kategori dosa besar.
Dalam banyak hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam malah menyebutkan secara langsung riba sebagai dosa besar. Misalnya saja hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Menurut salah satu firman-Nya, Allah SWT menjanjikan akan menghapuskan dan memusnahkan riba,
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa, redaksi kata “memusnahkan riba”, artinya bahwa Allah akan memusnahkan riba di tangan pelakunya. Bisa saja pelakunya mendapatkan harta, namun Allah halangi keberkahan atas harta tersebut.
Dengan kata lain, pelaku riba tidak akan mendapatkan kemanfaatan harta tersebut di dunia. Malahan dia akan mendapatkan siksa di akhirat atas harta yang didapatkan dari riba.
Penafsiran Ibnu Katsir ini didukung banyak hadis, salah satunya adalah hadis berikut ini,
Keterangan di atas memang sesuai dengan realita yang ada saat ini. Jika kita mengikuti update status netizen yang hijrah dari riba di berbagai media sosial seperti Facebook dan Quora. Maka bisa didapati bahwa banyak dari mereka yang merasa hidupnya berubah 180 derajat setelah hijrah.
Misalnya ada salah satu pengguna Quora mantan pegawai Bank BUMN, yang bersedia menceritakan perjalanan hidupnya sebelum dan sesudah hijrah.
Saat belum hijrah, beliau tidak dapat merasakan ketenangan dalam hidupnya. Setiap hari pergi pagi-pulang malam hari, hingga sering didapati anak istrinya sudah terlelap tidur ketika pulang kerja.
Begitupun saat beribadah, tidak ada kekhusyukan saat melaksanakannya. Ketika dituntut harus ingat Allah saat beribadah, ia malah ingat pekerjaan yang tidak berujung.
Padahal kalau dilihat dari sisi dunia, seharusnya beliau merasakan kebahagian. Jabatan yang diembannya sudah selevel wakil Kepala Cabang di salah satu Bank BUMN. Gaji pokoknya sudah mencapai angka dua digit. Belum lagi ditambah bonus dan lainnya.
Seharusnya beliau merasakan lebih dari kata cukup dari segi materi. Namun nyatanya tidak demikian.
Beliau malah menuturkan bahwa penghasilan yang telah ia dapatkan di bank selama delapan tahun tidak terasa hilang kemana. Seolah Allah memusnahkan harta hasil riba tersebut hingga kembali ke titik nol.
Alhamdulillah, setelah beliau hijrah kehidupannya mulai berbalik. Meski pendapatannya tidak sebesar sebelumnya ketika di bank, beliau lebih banyak mendapatkan kenikmatan dan ketenangan. Anak dan istrinya yang sebelumnya sering sakit-sakitan, kini selalu diberi kesehatan. Kesehariannya tidak lagi dihantui beban pekerjaan, malah orderan dari bisnisnya terus berdatangan.
Mudah-mudahan perjalanan hidup para pejuang hijrah dari riba seperti beliau memberikan motivasi kepada kita untuk senantiasa menghindari riba. Aamiin…
Dalam salah satu firman-Nya, Allah mengkategorikan pemakan riba sebagai Orang yang berbuat ingkar/ kekafiran.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa pemakan riba tidak merasa cukup atas rezeki halal yang telah Allah berikan. Sehingga ia berusaha dengan cara yang batil untuk mengeruk harta orang lain.
Tidak ada ancaman yang paling mengerikan kepada pelaku riba selain ancaman perang dari Allah SWT.
Sahabat, kalau kita kaji lebih dalam, ternyata Allah tidak pernah menyatakan perang kepada pelaku dosa, selain dalam dua hal, yaitu pelaku riba dan perampokan/pembunuhan.
Keduanya sama-sama membuat kerusakan di muka bumi meskipun dengan cara yang berbeda.
Perampok membuat kerusakan dengan melakukan kesewenang-wenangan kepada orang lain dengan kekuatannya. Sedangkan pelaku riba melakukan kerusakan dengan berbuat zalim kepada orang lain yang sedang mengalami kesusahan.
Maka tidak heran jika Allah SWT menantang langsung perang kepada para pelaku riba. Karena dosa yang diakibatkannya bukan lagi menjadi urusan pribadi, melainkan sudah menyangkut kemaslahatan umat.
Ada banyak alasan mengapa Allah mengharamkan riba. Karena demikian besarnya bahaya riba, Allah sampai mengancam keras bagi para pelakunya. Hal demikian Allah tetapkan demi kebaikan kita sendiri supaya terhindar dari perbuatan aniaya terhadap orang lain. Wallahu ‘alam
Baca juga: Penjelasan Mengenai Riba Yang Dihalalkan Menurut Surat Ar-Rum
(Diedit oleh Nizar Tegar)