Islam merupakan agama yang kaffah, segala macamnya sudah memiliki aturan yang harus diterapkan secara sempurna. Sehingga manusia bisa bermasyarakat tanpa merugikan satu sama lain dan selalu beramal ma’ruf nahi munkar. Termasuk juga di dalamnya aturan mengenai transaksi jual beli, aktivitas yang akan sering kita temui dan selalu dilakukan guna mendapat barang yang dibutuhkan.
Sebagai seorang muslim kita tentunya memiliki aturan mengenai transaksi jual beli. Sebuah aturan yang harus dipatuhi agar mendisiplinkan dalam kebaikan bertransaksi dan menghindari keharaman yang dilarang.
Seperti Sharia Green Land yang menjadikan rumah sebagai objek transaksi dan menerapkan sistem transaksi sesuai dengan syariat islam. Konsep tanpa riba, tanpa denda, tanpa sita dan tanpa akad bermasalah menjadi layanan yang akan terus diberikan pada pembeli. Khususnya pembahasan tanpa sita akan dijelaskan dalam artikel ini.
Sita merupakan penahanan barang milik pembeli karena telah terjadi suatu masalah. Dalam transaksi jual beli, sita biasa dilakukan saat si pembeli tak mampu memenuhi kewajiban pembayaran sesuai dengan jumlah dan waktu yang ditentukan. Akibatnya ada objek benda yang harus disita.
Lantas, apakah sita di syariat kan oleh islam?
Dalam islam persoalan mengenai sita masuk dalam pembahasan Al-Hajru, ia merupakan grand teori yang penjelasannya belum detail seperti yang dijelaskan oleh ilmu hukum umum. Definisi ulama mengenai Al-Hajru ini berbeda-beda.
Hanafi memberikan definisi “larangan dalam melaksanakan akad dan bertindak hukum dalam bentuk perkataan”. sementara Maliki memberikan penjelasan mengenai Al-Hajru yaitu “status hukum yang diberikan syarak kepada seseorang sehingga ia dilarang melakukan tindakan hukum di luar batas kemampuan”.
Bisa disimpulkan bahwa Al-Hajru merupakan larangan atau pencegahan pada seseorang untuk memanfaatkan hartanya sebab kesalahan atau kelalaian yang telah diperbuat.
Rasulullah SAW pernah melakukan penyitaan terhadap Muadz. Hal tersebut tercantum dalam sebuah hadist:
Ka’ab bin Malik Menceritakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. pernah menyita harta Mu’adz dan menjualnya untuk membayar hutangnya”. (HR. ad-Daar al-Quthni)
Dalam hadist disebutkan bahwa “menyita dan menjual untuk membayar hutang”, artinya penyitaan bukan hanya dimanfaatkan oleh sebelah pihak saja dan merugikan pihak lain. Sita dalam hal tersebut juga bisa berarti jaminan atau agunan yang diberikan saat transaksi jual beli kredit berlangsung, atau bisa juga objek transaksi yang tidak terselesaikan kewajibannya secara sempurna lalu dijual untuk menyempurnakan kewajiban tersebut.
Lantas bagaimana Sharia Green Land menyelesaikan masalah kredit macet? Bila terjadi kredit macet atau pembeli yang melakukan transaksi jual beli rumah tidak dapat membayar sesuai dengan waktu dan jumlah nominal ditentukan maka Sharia Green Land memberikan solusi yang diperbolehkan oleh syariat.
Berdasarkan poin nomor 2, artinya Sharia Green Land menghindari penambahan pembayaran meskipun terdapat profit dari hasil penjualan rumah yang sudah ditransaksikan. Karena bila ada penambahan maka itu sudah masuk dalam kategori riba dan haram hukumnya. Artinya solusi yang diberikan bukanlah penyitaan namun solusi lain yang bisa membantu pembeli menyelesaikan persoalan kredit macet.
Dalam proses pelaksanaannya Sharia Green Land akan selalu berkomitmen untuk menjalankan layanan syariah “Tanpa Sita”. Sehingga, baik developer atau pun pembeli sama-sama bisa menyelesaikan masalah dengan asas kekeluargaan dan tentunya sesuai dengan syariat.
Sumber:
Islam merupakan agama yang kaffah, segala macamnya sudah memiliki aturan yang harus diterapkan secara sempurna. Sehingga manusia bisa bermasyarakat tanpa merugikan satu sama lain dan selalu beramal ma’ruf nahi munkar. Termasuk juga di dalamnya aturan mengenai transaksi jual beli, aktivitas yang akan sering kita temui dan selalu dilakukan guna mendapat barang yang dibutuhkan.
Sebagai seorang muslim kita tentunya memiliki aturan mengenai transaksi jual beli. Sebuah aturan yang harus dipatuhi agar mendisiplinkan dalam kebaikan bertransaksi dan menghindari keharaman yang dilarang.
Seperti Sharia Green Land yang menjadikan rumah sebagai objek transaksi dan menerapkan sistem transaksi sesuai dengan syariat islam. Konsep tanpa riba, tanpa denda, tanpa sita dan tanpa akad bermasalah menjadi layanan yang akan terus diberikan pada pembeli. Khususnya pembahasan tanpa sita akan dijelaskan dalam artikel ini.
Sita merupakan penahanan barang milik pembeli karena telah terjadi suatu masalah. Dalam transaksi jual beli, sita biasa dilakukan saat si pembeli tak mampu memenuhi kewajiban pembayaran sesuai dengan jumlah dan waktu yang ditentukan. Akibatnya ada objek benda yang harus disita.
Lantas, apakah sita di syariat kan oleh islam?
Dalam islam persoalan mengenai sita masuk dalam pembahasan Al-Hajru, ia merupakan grand teori yang penjelasannya belum detail seperti yang dijelaskan oleh ilmu hukum umum. Definisi ulama mengenai Al-Hajru ini berbeda-beda.
Hanafi memberikan definisi “larangan dalam melaksanakan akad dan bertindak hukum dalam bentuk perkataan”. sementara Maliki memberikan penjelasan mengenai Al-Hajru yaitu “status hukum yang diberikan syarak kepada seseorang sehingga ia dilarang melakukan tindakan hukum di luar batas kemampuan”.
Bisa disimpulkan bahwa Al-Hajru merupakan larangan atau pencegahan pada seseorang untuk memanfaatkan hartanya sebab kesalahan atau kelalaian yang telah diperbuat.
Rasulullah SAW pernah melakukan penyitaan terhadap Muadz. Hal tersebut tercantum dalam sebuah hadist:
Ka’ab bin Malik Menceritakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. pernah menyita harta Mu’adz dan menjualnya untuk membayar hutangnya”. (HR. ad-Daar al-Quthni)
Dalam hadist disebutkan bahwa “menyita dan menjual untuk membayar hutang”, artinya penyitaan bukan hanya dimanfaatkan oleh sebelah pihak saja dan merugikan pihak lain. Sita dalam hal tersebut juga bisa berarti jaminan atau agunan yang diberikan saat transaksi jual beli kredit berlangsung, atau bisa juga objek transaksi yang tidak terselesaikan kewajibannya secara sempurna lalu dijual untuk menyempurnakan kewajiban tersebut.
Lantas bagaimana Sharia Green Land menyelesaikan masalah kredit macet? Bila terjadi kredit macet atau pembeli yang melakukan transaksi jual beli rumah tidak dapat membayar sesuai dengan waktu dan jumlah nominal ditentukan maka Sharia Green Land memberikan solusi yang diperbolehkan oleh syariat.
Berdasarkan poin nomor 2, artinya Sharia Green Land menghindari penambahan pembayaran meskipun terdapat profit dari hasil penjualan rumah yang sudah ditransaksikan. Karena bila ada penambahan maka itu sudah masuk dalam kategori riba dan haram hukumnya. Artinya solusi yang diberikan bukanlah penyitaan namun solusi lain yang bisa membantu pembeli menyelesaikan persoalan kredit macet.
Dalam proses pelaksanaannya Sharia Green Land akan selalu berkomitmen untuk menjalankan layanan syariah “Tanpa Sita”. Sehingga, baik developer atau pun pembeli sama-sama bisa menyelesaikan masalah dengan asas kekeluargaan dan tentunya sesuai dengan syariat.
Sumber: