Menjalani rumah tangga sungguh tidak sederhana, terlebih lagi jika tujuan akhirnya adalah jannah. Berbagai ujian akan selalu menghadang mulai dari awal pernikahan hingga usia menua.
Banyak orang berpendapat bahwa ujian pernikahan 5 tahun pertama adalah masa tersulit dalam bahtera rumah tangga. Ketika berhasil melewati masa-masa sulit ini besar kemungkinan hubungan dalam rumah tangga akan semakin kuat.
Benarkah demikian?
Dalam ilmu psikologi memang demikian adanya, 5 tahun pertama menjadi ujian terberat dalam rumah tangga. Namun, dalam islam tidak mengenal penentuan waktu 5 tahun ini. Hanya saja islam mengenal istilah ta’aruf, yaitu proses saling mengenal.
Proses saling mengenal sebenarnya tidak hanya dilakukan sebelum menikah, namun harus dilakukan terus menerus. Karena kita belum tentu mengenal 100% orang yang kita nikahi meskipun telah melewati proses ta’aruf, nazhar, dan khitbah.
Berhubung kita belum sepenuhnya mengenal orang yang kita nikahi, maka akan sangat wajar jika kita menemui banyak kejutan saat memasuki rumah tangga. Entah itu ke arah yang positif maupun yang negatif.
Pada sebuah kisah, seorang wanita yang baru menikah terkejut dengan segala sikap yang diperlihatkan sang suami setelah menikah. Banyak sikap suami yang tidak berkenan di hatinya, sehingga menyimpulkan hal-hal negatif atas suaminya. Ia melihat suaminya sebagai orang yang otoriter, banyak mengatur, kurang peka, kurang perhatian, kurang bisa berterima kasih, tidak mampu membahagiakan, dan masih banyak lagi.
Demikian gambaran umum yang dirasakan oleh sebagian wanita yang baru menikah. Apakah Anda mengalami hal yang serupa? Kami yakin, Anda tidak demikian. Aamiin…
Sahabat, menyatukan dua insan yang memiliki perbedaan latar belakang, kepribadian, dan kebiasaan bukanlah perkara yang mudah. Memiliki suami ideal dan menjadi pendamping istri yang shalihah tidak semudah berangan-angan. Seiya sekata layaknya dalam film atau cerita romansa tidak hanya cukup dengan melihat dan mencoba.
Membangun rumah tangga tidak hanya berkutat pada urusan romantisme saja. Ada banyak rintangan yang harus bisa dihadapi bersama menuju rumah tangga surgawi. Berumah tangga bisa menjadi fase manusia yang kaya akan ledakan rasa dan menguras emosi.
Baca juga: Sabar dan Syukur, Pondasi Membangun Keluarga Islami
Konflik sudah menjadi hal yang lumrah dalam urusan rumah tangga. Permasalahan jadi tambah pelik ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Mari kita lihat ekspektasi dari sudut pandang istri,
Suami memiliki kedudukan sebagai imam dalam keluarga. Maka sebagian besar istri menaruh harapan untuk mendapatkan bimbingan dan banyak hal darinya, seperti:
Sementara realita terlihat jauh dari harapan yang selama ini kita impikan. Sejumlah tanya menyelimuti hati, kebiasaan suami yang tidak diharapkan justru semakin terlihat.
Baca juga: Hikmah Dari Perselisihan Suami Istri Dalam Rumah Tangga
Ketika kurang bijak dalam memanajemen emosi, yang ada kita malah hanya menelan rasa kecewa. Maka diperlukan kebesaran hati dan sikap yang bijak ketika menemui kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Kita pastinya sadar dan paham betul bahwa bagi istri mendapatkan ridho suami adalah keniscayaan. Ridho Allah yang sebelumnya berada di orang tua kita kini beralih kepada ridhonya. Hanya saja terkadang konflik batin muncul ketika sikap suami cenderung berbuat sesukanya, berpegang pada ego yang tinggi tanpa mempertimbangkan perasaan kita. Maka saat itulah kita memerlukan kebesaran hati untuk bisa memakluminya.
Mencari nafkah adalah kewajiban seorang suami. Terkadang cara yang dipilihnya cenderung terlihat beresiko tinggi dan rumit. Maka, disaat dirinya belum bisa membuktikan hasil, terlalu lama dalam berproses, atau terjatuh dan cukup sulit untuk bangun kembali, sertakanlah dirinya dalam doa.
Kita tentunya memiliki keyakinan bahwa suami bukanlah makhluk sempurna yang tak luput dari kesalahan. Meski sudah diingatkan berulang kali, terkadang ia tidak berkenan untuk menerimanya. Maka pada saat seperti itu kita dituntut untuk bersikap elegan ketika mengingatkan.
Saat suami menemui kegagalan, entah itu karena gagal mencapai target perusahaan, gagal meyakinkan klien, atau terkena tipu yang nilai nominalnya sangat besar hingga membuat kita terhenyak. Maka kita memerlukan energi khusus untuk meredam rasa bimbang. Kita harus yakin dengan janji Allah SWT.,
Baca juga: Bagaimana Seharusnya Menyikapi Perbedaan yang Ada di Rumah?
Demikianlah sekelumit ujian di awal pernikahan khususnya bagi para istri. Upaya menggapai rumah tangga surgawi tidak sederhana, tidak semudah yang dibayangkan, tidak sekadar romantisme. Diperlukan kebesaran hati, selalu menyertakan pasangan kita dalam setiap doa, elegan dalam mengingatkan, serta haqqul yaqin. Wallahu A’lam
Silahkan isi kolom komentar jika ada masukan dan saran yang membangun. Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat. Terima kasih.
(Diedit oleh Nizar Tegar)
Menjalani rumah tangga sungguh tidak sederhana, terlebih lagi jika tujuan akhirnya adalah jannah. Berbagai ujian akan selalu menghadang mulai dari awal pernikahan hingga usia menua.
Banyak orang berpendapat bahwa ujian pernikahan 5 tahun pertama adalah masa tersulit dalam bahtera rumah tangga. Ketika berhasil melewati masa-masa sulit ini besar kemungkinan hubungan dalam rumah tangga akan semakin kuat.
Benarkah demikian?
Dalam ilmu psikologi memang demikian adanya, 5 tahun pertama menjadi ujian terberat dalam rumah tangga. Namun, dalam islam tidak mengenal penentuan waktu 5 tahun ini. Hanya saja islam mengenal istilah ta’aruf, yaitu proses saling mengenal.
Proses saling mengenal sebenarnya tidak hanya dilakukan sebelum menikah, namun harus dilakukan terus menerus. Karena kita belum tentu mengenal 100% orang yang kita nikahi meskipun telah melewati proses ta’aruf, nazhar, dan khitbah.
Berhubung kita belum sepenuhnya mengenal orang yang kita nikahi, maka akan sangat wajar jika kita menemui banyak kejutan saat memasuki rumah tangga. Entah itu ke arah yang positif maupun yang negatif.
Pada sebuah kisah, seorang wanita yang baru menikah terkejut dengan segala sikap yang diperlihatkan sang suami setelah menikah. Banyak sikap suami yang tidak berkenan di hatinya, sehingga menyimpulkan hal-hal negatif atas suaminya. Ia melihat suaminya sebagai orang yang otoriter, banyak mengatur, kurang peka, kurang perhatian, kurang bisa berterima kasih, tidak mampu membahagiakan, dan masih banyak lagi.
Demikian gambaran umum yang dirasakan oleh sebagian wanita yang baru menikah. Apakah Anda mengalami hal yang serupa? Kami yakin, Anda tidak demikian. Aamiin…
Sahabat, menyatukan dua insan yang memiliki perbedaan latar belakang, kepribadian, dan kebiasaan bukanlah perkara yang mudah. Memiliki suami ideal dan menjadi pendamping istri yang shalihah tidak semudah berangan-angan. Seiya sekata layaknya dalam film atau cerita romansa tidak hanya cukup dengan melihat dan mencoba.
Membangun rumah tangga tidak hanya berkutat pada urusan romantisme saja. Ada banyak rintangan yang harus bisa dihadapi bersama menuju rumah tangga surgawi. Berumah tangga bisa menjadi fase manusia yang kaya akan ledakan rasa dan menguras emosi.
Baca juga: Sabar dan Syukur, Pondasi Membangun Keluarga Islami
Konflik sudah menjadi hal yang lumrah dalam urusan rumah tangga. Permasalahan jadi tambah pelik ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Mari kita lihat ekspektasi dari sudut pandang istri,
Suami memiliki kedudukan sebagai imam dalam keluarga. Maka sebagian besar istri menaruh harapan untuk mendapatkan bimbingan dan banyak hal darinya, seperti:
Sementara realita terlihat jauh dari harapan yang selama ini kita impikan. Sejumlah tanya menyelimuti hati, kebiasaan suami yang tidak diharapkan justru semakin terlihat.
Baca juga: Hikmah Dari Perselisihan Suami Istri Dalam Rumah Tangga
Ketika kurang bijak dalam memanajemen emosi, yang ada kita malah hanya menelan rasa kecewa. Maka diperlukan kebesaran hati dan sikap yang bijak ketika menemui kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Kita pastinya sadar dan paham betul bahwa bagi istri mendapatkan ridho suami adalah keniscayaan. Ridho Allah yang sebelumnya berada di orang tua kita kini beralih kepada ridhonya. Hanya saja terkadang konflik batin muncul ketika sikap suami cenderung berbuat sesukanya, berpegang pada ego yang tinggi tanpa mempertimbangkan perasaan kita. Maka saat itulah kita memerlukan kebesaran hati untuk bisa memakluminya.
Mencari nafkah adalah kewajiban seorang suami. Terkadang cara yang dipilihnya cenderung terlihat beresiko tinggi dan rumit. Maka, disaat dirinya belum bisa membuktikan hasil, terlalu lama dalam berproses, atau terjatuh dan cukup sulit untuk bangun kembali, sertakanlah dirinya dalam doa.
Kita tentunya memiliki keyakinan bahwa suami bukanlah makhluk sempurna yang tak luput dari kesalahan. Meski sudah diingatkan berulang kali, terkadang ia tidak berkenan untuk menerimanya. Maka pada saat seperti itu kita dituntut untuk bersikap elegan ketika mengingatkan.
Saat suami menemui kegagalan, entah itu karena gagal mencapai target perusahaan, gagal meyakinkan klien, atau terkena tipu yang nilai nominalnya sangat besar hingga membuat kita terhenyak. Maka kita memerlukan energi khusus untuk meredam rasa bimbang. Kita harus yakin dengan janji Allah SWT.,
Baca juga: Bagaimana Seharusnya Menyikapi Perbedaan yang Ada di Rumah?
Demikianlah sekelumit ujian di awal pernikahan khususnya bagi para istri. Upaya menggapai rumah tangga surgawi tidak sederhana, tidak semudah yang dibayangkan, tidak sekadar romantisme. Diperlukan kebesaran hati, selalu menyertakan pasangan kita dalam setiap doa, elegan dalam mengingatkan, serta haqqul yaqin. Wallahu A’lam
Silahkan isi kolom komentar jika ada masukan dan saran yang membangun. Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat. Terima kasih.
(Diedit oleh Nizar Tegar)