Mestinya perbedaan pendapat dianggap sebagai hal yang wajar, jika menyangkut perbedaan yang masih diperbolehkan, dan tidak perlu melebar menjadi penyebab konflik. Sebab, konflik dalam masalah ini, sejatinya bukan muncul dari perbedaan pendapat itu sendiri, akan tetapi muncul dari ketidakdewasaan dalam meyikapi perbedaan pendapat. Untuk itu, perlu dibangun sikap dewasa untuk menyikapi perbedaan pendapat pendapat semacam ini.
Baca juga: Bagaimana Cara Menyikapi Perbedaan Pendapat?
Pada dasarnya, perbedaan pendapat bisa terjadi pada masalah – masalah cabang (furu’), dan ada kalanya terjadi pada masalah – masalah mendasar (ushul). Seorang Muslim boleh – boleh saja berbeda pendapat dalam masalah – masalah cabang. Dalam masalah cabang, seorang Muslim tidak harus mengikuti satu pendapat saja, akan tetapi ia boleh mengambil pendapat lain yang dianggapnya lebih kuat dan benar. Sikap semacam ini telah dipegang oleh para fuqaha dan generasi – generasi salaf.
Meskipun mereka berbeda pendapat (dalam masalah – masalah cabang) mereka tetap menghormati dan memuliakan orang – orang yang bersebrangan pendapat dengan dirinya. Mereka tidak pernah memutuskan hubungan persaudaraan, tetap bertegur sapa, atau bergaul secara wajar, dan tidak bermusuhan. Mereka memahami bahwa pendapat saudaranya adalah pendapat islami, meskipun berbeda dengan pendapatnya. Seorang Muslim tidak boleh menyatakan bahwa pendapat saudaranya (dalam masalah – masalah yang dzanniy) telah keluar dari pendapat Islam. Sebab Al-Qur’an dan Sunnah sendiri (dalam masalah – masalah dzanniy) membuka ruang yang sangat lebar bagi keragaman interpretasi. Keragaman interpretasi ini tidak mengeluarkan salah satu pendapat dari pendapat islami, sekiranya pedapat itu didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, serta diistinbathkan (digali) berdasarkan metode ijtihad yang benar.
Untuk itu, sangat tidak dewasa dan aneh, jika antar tetangga bertengkar dan bermusuhan, gara – gara tetangganya tidak berdoa qunut saat shalat shubuh, atau tidak ikut dzikir jama’iy di sebuah masjid. Ini adalah sikap kenakak – kanakkan.
Jika ada tetangga yang bersikap demikian, kita harus menyadarkan dirinya tentang keluasan pendapat dalam khazanah Islam, terutama dalam hal – hal furu’. Jika ia memahami bahwa pendapat yang dipegang oleh ulama – ulama termasyhur, tentunya ia akan sadar, bahwa sikapnya selama ini adalah sikap yang salah dan tidak bijaksana. Untuk itu, di tengah – tengah masyarakat harus diadakan kajian perbandingan fiqh untuk meluaskan khazanah pengetahuan mereka mengenai fiqh Islam. Sangat disarankan untuk mengkaji kitab – kitab fiqh semacam Bidayat al-Mujtahid, karya Ibnu Rusyd, Mizan al-Kubra, dan lain sebagainya.
Seorang Muslim tidak boleh berbeda pendapat dalam masalah – masalah ushul, atau perkara – perkara yang dalilnya qath’iy (pasti), baik dalam masalah hukum dan aqidah. Seorang Muslim tidak boleh tasamuh (toleran) terhadap pendapat yang jelas – jelas menyimpang. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa dalil – dalil yang qath’iy (pasti), tidak membuka ruang terhadap banyaknya penafsiran. Ayat – ayat semacam ini bisa menunjukkan satu pengertian dan bersifat pasti. Pendapat yang menyatakan bahwa, Islam adalah agama paling benar dan diridlai oleh Allah didasarkan pada dalil – dalil yang bersifat pasti. Pendapat yang menyatakan bahwa, ada agama selain Islam, setelah diutusnya Muhammad SAW., bisa menjamin pemeluknya masuk surga, maka pendapat semacam ini tentu saja adalah pendapat menyimpang yang tidak boleh diikuti oleh kaum Mukmin.
JIka ada tetangga kita berpendapat bahwa setelah Nabi SAW. wafat masih ada nabi lagi, maka kita tidak boleh tasamuh (toleran) dengan pendapat semacam ini. Sebab, pendapat ini telah menyimpang dan bertentangan dengan aqidah Islam. Demikian pula, jika tetangga kita berpendapat bahwa hukum – hukum Islam telah ketinggalan zaman, atau tidak layak untuk mengatur kehidupan manusia, maka ini adalah pendapat menyimpang dan tidak terkategori pendapat Islami.
Akan tetapi, seorang Muslim wajib menyadarkan saudaranya yang menyimpang dengan cara yang baik dan bijaksana, yakni dengan jalan diskusi. Ia harus mengajak dan menyadarkan kembali agar kembali kepada pemahaman yang lurus dan benar. Orang – orang semacam ini, kebanyakan adalah orang ikhlas yang memegang teguh apa yang diyakininya benar. Mayoritas mereka bukanlah orang – orang yang gemar berbuat kasar dan merusak. Sayangnya, mereka memiliki pemahaman yang rusak dan menyimpang. Untuk itu, mereka harus disadarkan dengan cara bijaksana, bukan dengan cara kekerasan. Pendapat mereka harus dijelaskan kesalahannya dan diungkapkan penyimpanganya, hingga mereka sadar dan bertaubat kepada Allah SWT..
Setelah peristiwa tahkim, banyak pengikut setia ‘Ali bin Abi Thalib ra, khalifah yang sah, memisahkan dirinya dan membentuk kelompok Khawarij. Kelompok ini berpendapat bahwa Ali ra dan Muawiyyah telah keluar dari Islam, alias kafir, dan wajib untuk diperangi. Untuk menyadarkan dan mengembalikan mereka ke pangkuan Daulah Khilafah Islamiyyah, khalifah Abi bin Abi Thalib mengutus salah seorang shahabat Rasulullah SAW. yang terkenal memiliki argumentasi yang kuat, yaitu Abdullah bin ‘Abbas ra. Adapun cuplikan diskusi antara kaum Khawarij dengan Abdullah bin ‘Abbas dituturkan sebagai berikut;
Ibnu ‘Abbas bertanya, “Apa sebenarnya yang menyebabkan kalian menaruh dendam kepada Ali ra?” Orang – orang Khawarij menjawab, “Ada tiga hal yang membuat kami benci kepadanya. Pertama, dalam agama Allah, ia telah bertakhim kepada manusia, sementara itu Allah SWT. berfirman, “Tidak ada hukum kecuali bagi Allah.” Kedua, ia berperang, namun tidak menawan musuh dan tidak pula mengambil harta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang kafir, berarti harta mereka adalah halal. Sebaliknya, jika mereka Mukmin, berarti darahnya haram. Ketiga, tatkala ia bertakhim, ia telah menanggalkan sifatnya sebagai Amirul Mukminin, seraya mengabulkan tuntutan lawannya. Oleh karena itu, ia bukan amir atas kaum Muslim lagi, ia telah menjadi amir (pemimpin) bagi orang – orang kafir!”
Argumentasi yang dilontarkan oleh orang – orang Khawarij dijelaskan satu per satu oleh Ibnu Abbas dengan penjelasan yang sangat memuaskan dan membekas dalam jiwa.
Ibnu Abbas berkata, “Mengenai pernyataan kalian bahwa Imam Ali bertakhim kepada manusia dalam Allah apa salahnya? Allah SWT. sendiri telah berfirman, “Hai orang – orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan sewaktu kalian dalam ihram. Barangsiapa diantara kalian membunuhnya dengan sengaja, hendaknya ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu. Hal itu diputuskan oleh dua orang yang adil diantara kalian sebagai hakimnya.” (QS. Al-Maidah :95)
Ibnu Abbas berkata, “Lantas mana yang lebih penting bertakhim kepada manusia untuk menjaga darah kaum Muslim, ataukah bertakhim kepada manusia terhadap seekor kelinci yang berharga cuma seperempat dirham?”
Mendengar argumentasi Ibnu Abbas ini, para pemimpin Khawarij tertegun. Ibnu Abbas melanjutkan lagi,
“Sedangkan pernyataan kaliah, bahwa ia telah berperang tetapi tidak melakukan penawaran dan tidak mengambil ghanimahnya, maka apakah kalian menghendaki agar dia mengambil Aisyah ra, isteri Rasulullah SAW. dan ummul Mukminin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya dijadikan sebagai ghanimah?” Mendengar tangkisan Ibnu Abbas ini, para pemimpin Khawarij mulai merah padam seraya menutupi wajah mereka dengan tangannya.
“Sedangkan pernyataan kalian, bahwa ia rela meninggalkan sifatnya sebagai amirul mukminin hingga selesainya tahkim, maka (coba dengar) apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. pada peristiwa Hudaibiyah tatkala beliau mendiktekan teks perjanjian yang telah disepakatinya. Beliau berkata, “Tulislah, “Inilah yang telah disepakati Muhammad Rasulullah…” Namun, tiba – tiba utusan Quraisiy menyela, “Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentu kami tidak akan menghalangimu ke Baitullah dan tidak akan memerangimu.” Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW. menukas, “Demi Allah sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah SAW. menukas, “Demi Allah, sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah, walaupun kalian tidak mengakuinya.” Kepada penulis itu, Beliau berkata lagi, “Tulislah apa yang mereka kehendaki, dan tulis pula, “Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad ibn Abdillah.”
Mendengar jawaban tuntas dan sangat memuaskan dari Abdullah bin Abbas, seketika itu juga kurang lebih dua puluh ribu pengikut Khawarij kembali ke pangkuan Khilafiyah Islamiyyah. Mereka akhirnya menarik diri dari permusuhan terhadap Imam Ali ra.
Kisah di atas memberikan teladan kepada kita, bagaimana cara menyelesaikan sengketa dengan orang – orang yang meyakini keyakinan dan pendapat yang menyimpang. Ketangguhan Ibnu Abbas dalam berargumentasi menjadi kunci kesuksesan Beliau untuk menyadarkan pengikut Khawarij (Jurnal El-Wa’e, No. 02/ Tahun I, 1-31 Oktober 2000, hal.48)
Inilah beberapa prinsip menyelesaikan perselisihan dengan tetangga. Pada dasarnya, konflik dan perselisihan adalah sesuatu yang lazim. Setiap orang pasti pernah berselisih, atau konflik dengan tetangga, teman, saudara, bahkan dengan dirinya sendiri. Tidak jarang pula, konflik itu datang berturut – turut tanpa bisa diselesaikan dengan memuaskan. Akhirnya, banyak orang menghindari konflik atau masalah karena merasa tidak mampu menghadapi dan menyelesaikannya. Akibatnya, ia terus dihadapkan pada konflik dan masalah yang bertumpuk – tumpuk. Sebab, ia hanya menghindari masalah, bukan menyelesaikan masalah.
Seorang Mukmin tidak perlu takut, atau menghindar dari masalah. Ia harus berani menghadapi masalah dan menyelesaikannya. Selama ia bersikap wajar terhadap konflik dan memahami jalan keluarnya, pasti ia akan keluar dari masalah dengan menuai hikmah dan kebaikan.
Tatkala perselisihan dan konflik antar tetangga bisa diminimalisir hingga mendekati titik nol, kehidupan bertetangga akan terasa menyenangkan dan membahagiakan. Bila keadaan ini tercapai, akan tumbuh di tengah – tengah mereka saling percaya dan memahami. Ketika kedua sifat ini telah membudaya di tengah – tengah mereka. Mereka akan berusaha meringankan dan membantu beban hidup satu dengan yang lain. Persaudaraan antar tetangga akan semakin erat, dan suasana hidup bertetangga diwarnai dengan ibadah dan ukhuwah.
Hal ini bisa terwujud, jika sendi – sendi yang membangun kehidupan bertetangga didasarkan pada tuntunan Allah dan Rasulullah SAW.. Tanpa landasan Al-Qur’an dan Sunnah, kehidupan bertetangga akan terasa hampa, kering, dan tidak menyegarkan. Lebih dari itu, tanpa ada keduanya, keluarga – keluarga Muslim akan dihinggapi penyakit cuekisme, semau gue, dan tidak peduli dengan tetangga – tetangga yang lain. Jika ini dibiarkan, lambat laun, keluarga – keluarga Muslim akan terasingkan dari kehidupan masyarakat dan bertetangga. Yang tersisa hanyalah rumah – rumah yang berdesak – desakan, sedangkan masing masing penghuni rumah itu tidak pernah peduli dan asing dengan tetangganya. Mereka tidak bertutur sapa, bahkan tidak pernah mengenal tetangga sebelahnya.
Alangkah indahnya, jika tetangga – tetangga kita (termasuk keluarga kita) memahami fiqih bertetangga yang Islamiy, harus dimulai menanamkan pandangan – pandangan Islam mengenai kehidupan bertetangga. Jika setiap keluarga memahami ketentuan – ketentuan Islam dalam bertetangga, mereka akan terdorong untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari – hari. Mereka juga akan menolak pandangan – pandangan dan sistem – sistem selain Islam yang hendak ditanamkan di tengah – tengah mereka. Mereka memahami bahwa kehancuran keluarga dan masyarakat disebabkan karena tidak diberlakukannya pranata Islam di tengah – tengah mereka.
Jika kondisi ini telah terwujud, maka kehidupan bertetangga yang menyenangkan dan menyegarkan akan terwujud di tengah – tengah masyarakat. Sebaliknya, jika pandangan keluarga – keluarga Muslim masih didominasi oleh pandangan – pandangan barat, tentunya mereka tidak akan pernah bisa membangun kehidupan bertetangga yang Islami, menyenangkan dan membahagiakan.
Untuk itu, pandangan masyarakat terhadap keluarga dan tetangga harus digeser dari pandangan non-Islami menuju pandangan Islam. Tatkala pandangan masyarakat berpaling kembali kepada Islam, dengan mudah mereka akan menerapkan prinsip – prinsip dan ketentuan – ketentuan Islam. dalam keadaan seperti ini, Islam akan timbul dan muncul di dalam sanubari dan tindak tanduk mereka, seraya bergerak untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang Islami.
Mestinya perbedaan pendapat dianggap sebagai hal yang wajar, jika menyangkut perbedaan yang masih diperbolehkan, dan tidak perlu melebar menjadi penyebab konflik. Sebab, konflik dalam masalah ini, sejatinya bukan muncul dari perbedaan pendapat itu sendiri, akan tetapi muncul dari ketidakdewasaan dalam meyikapi perbedaan pendapat. Untuk itu, perlu dibangun sikap dewasa untuk menyikapi perbedaan pendapat pendapat semacam ini.
Baca juga: Bagaimana Cara Menyikapi Perbedaan Pendapat?
Pada dasarnya, perbedaan pendapat bisa terjadi pada masalah – masalah cabang (furu’), dan ada kalanya terjadi pada masalah – masalah mendasar (ushul). Seorang Muslim boleh – boleh saja berbeda pendapat dalam masalah – masalah cabang. Dalam masalah cabang, seorang Muslim tidak harus mengikuti satu pendapat saja, akan tetapi ia boleh mengambil pendapat lain yang dianggapnya lebih kuat dan benar. Sikap semacam ini telah dipegang oleh para fuqaha dan generasi – generasi salaf.
Meskipun mereka berbeda pendapat (dalam masalah – masalah cabang) mereka tetap menghormati dan memuliakan orang – orang yang bersebrangan pendapat dengan dirinya. Mereka tidak pernah memutuskan hubungan persaudaraan, tetap bertegur sapa, atau bergaul secara wajar, dan tidak bermusuhan. Mereka memahami bahwa pendapat saudaranya adalah pendapat islami, meskipun berbeda dengan pendapatnya. Seorang Muslim tidak boleh menyatakan bahwa pendapat saudaranya (dalam masalah – masalah yang dzanniy) telah keluar dari pendapat Islam. Sebab Al-Qur’an dan Sunnah sendiri (dalam masalah – masalah dzanniy) membuka ruang yang sangat lebar bagi keragaman interpretasi. Keragaman interpretasi ini tidak mengeluarkan salah satu pendapat dari pendapat islami, sekiranya pedapat itu didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, serta diistinbathkan (digali) berdasarkan metode ijtihad yang benar.
Untuk itu, sangat tidak dewasa dan aneh, jika antar tetangga bertengkar dan bermusuhan, gara – gara tetangganya tidak berdoa qunut saat shalat shubuh, atau tidak ikut dzikir jama’iy di sebuah masjid. Ini adalah sikap kenakak – kanakkan.
Jika ada tetangga yang bersikap demikian, kita harus menyadarkan dirinya tentang keluasan pendapat dalam khazanah Islam, terutama dalam hal – hal furu’. Jika ia memahami bahwa pendapat yang dipegang oleh ulama – ulama termasyhur, tentunya ia akan sadar, bahwa sikapnya selama ini adalah sikap yang salah dan tidak bijaksana. Untuk itu, di tengah – tengah masyarakat harus diadakan kajian perbandingan fiqh untuk meluaskan khazanah pengetahuan mereka mengenai fiqh Islam. Sangat disarankan untuk mengkaji kitab – kitab fiqh semacam Bidayat al-Mujtahid, karya Ibnu Rusyd, Mizan al-Kubra, dan lain sebagainya.
Seorang Muslim tidak boleh berbeda pendapat dalam masalah – masalah ushul, atau perkara – perkara yang dalilnya qath’iy (pasti), baik dalam masalah hukum dan aqidah. Seorang Muslim tidak boleh tasamuh (toleran) terhadap pendapat yang jelas – jelas menyimpang. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa dalil – dalil yang qath’iy (pasti), tidak membuka ruang terhadap banyaknya penafsiran. Ayat – ayat semacam ini bisa menunjukkan satu pengertian dan bersifat pasti. Pendapat yang menyatakan bahwa, Islam adalah agama paling benar dan diridlai oleh Allah didasarkan pada dalil – dalil yang bersifat pasti. Pendapat yang menyatakan bahwa, ada agama selain Islam, setelah diutusnya Muhammad SAW., bisa menjamin pemeluknya masuk surga, maka pendapat semacam ini tentu saja adalah pendapat menyimpang yang tidak boleh diikuti oleh kaum Mukmin.
JIka ada tetangga kita berpendapat bahwa setelah Nabi SAW. wafat masih ada nabi lagi, maka kita tidak boleh tasamuh (toleran) dengan pendapat semacam ini. Sebab, pendapat ini telah menyimpang dan bertentangan dengan aqidah Islam. Demikian pula, jika tetangga kita berpendapat bahwa hukum – hukum Islam telah ketinggalan zaman, atau tidak layak untuk mengatur kehidupan manusia, maka ini adalah pendapat menyimpang dan tidak terkategori pendapat Islami.
Akan tetapi, seorang Muslim wajib menyadarkan saudaranya yang menyimpang dengan cara yang baik dan bijaksana, yakni dengan jalan diskusi. Ia harus mengajak dan menyadarkan kembali agar kembali kepada pemahaman yang lurus dan benar. Orang – orang semacam ini, kebanyakan adalah orang ikhlas yang memegang teguh apa yang diyakininya benar. Mayoritas mereka bukanlah orang – orang yang gemar berbuat kasar dan merusak. Sayangnya, mereka memiliki pemahaman yang rusak dan menyimpang. Untuk itu, mereka harus disadarkan dengan cara bijaksana, bukan dengan cara kekerasan. Pendapat mereka harus dijelaskan kesalahannya dan diungkapkan penyimpanganya, hingga mereka sadar dan bertaubat kepada Allah SWT..
Setelah peristiwa tahkim, banyak pengikut setia ‘Ali bin Abi Thalib ra, khalifah yang sah, memisahkan dirinya dan membentuk kelompok Khawarij. Kelompok ini berpendapat bahwa Ali ra dan Muawiyyah telah keluar dari Islam, alias kafir, dan wajib untuk diperangi. Untuk menyadarkan dan mengembalikan mereka ke pangkuan Daulah Khilafah Islamiyyah, khalifah Abi bin Abi Thalib mengutus salah seorang shahabat Rasulullah SAW. yang terkenal memiliki argumentasi yang kuat, yaitu Abdullah bin ‘Abbas ra. Adapun cuplikan diskusi antara kaum Khawarij dengan Abdullah bin ‘Abbas dituturkan sebagai berikut;
Ibnu ‘Abbas bertanya, “Apa sebenarnya yang menyebabkan kalian menaruh dendam kepada Ali ra?” Orang – orang Khawarij menjawab, “Ada tiga hal yang membuat kami benci kepadanya. Pertama, dalam agama Allah, ia telah bertakhim kepada manusia, sementara itu Allah SWT. berfirman, “Tidak ada hukum kecuali bagi Allah.” Kedua, ia berperang, namun tidak menawan musuh dan tidak pula mengambil harta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang kafir, berarti harta mereka adalah halal. Sebaliknya, jika mereka Mukmin, berarti darahnya haram. Ketiga, tatkala ia bertakhim, ia telah menanggalkan sifatnya sebagai Amirul Mukminin, seraya mengabulkan tuntutan lawannya. Oleh karena itu, ia bukan amir atas kaum Muslim lagi, ia telah menjadi amir (pemimpin) bagi orang – orang kafir!”
Argumentasi yang dilontarkan oleh orang – orang Khawarij dijelaskan satu per satu oleh Ibnu Abbas dengan penjelasan yang sangat memuaskan dan membekas dalam jiwa.
Ibnu Abbas berkata, “Mengenai pernyataan kalian bahwa Imam Ali bertakhim kepada manusia dalam Allah apa salahnya? Allah SWT. sendiri telah berfirman, “Hai orang – orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan sewaktu kalian dalam ihram. Barangsiapa diantara kalian membunuhnya dengan sengaja, hendaknya ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu. Hal itu diputuskan oleh dua orang yang adil diantara kalian sebagai hakimnya.” (QS. Al-Maidah :95)
Ibnu Abbas berkata, “Lantas mana yang lebih penting bertakhim kepada manusia untuk menjaga darah kaum Muslim, ataukah bertakhim kepada manusia terhadap seekor kelinci yang berharga cuma seperempat dirham?”
Mendengar argumentasi Ibnu Abbas ini, para pemimpin Khawarij tertegun. Ibnu Abbas melanjutkan lagi,
“Sedangkan pernyataan kaliah, bahwa ia telah berperang tetapi tidak melakukan penawaran dan tidak mengambil ghanimahnya, maka apakah kalian menghendaki agar dia mengambil Aisyah ra, isteri Rasulullah SAW. dan ummul Mukminin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya dijadikan sebagai ghanimah?” Mendengar tangkisan Ibnu Abbas ini, para pemimpin Khawarij mulai merah padam seraya menutupi wajah mereka dengan tangannya.
“Sedangkan pernyataan kalian, bahwa ia rela meninggalkan sifatnya sebagai amirul mukminin hingga selesainya tahkim, maka (coba dengar) apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. pada peristiwa Hudaibiyah tatkala beliau mendiktekan teks perjanjian yang telah disepakatinya. Beliau berkata, “Tulislah, “Inilah yang telah disepakati Muhammad Rasulullah…” Namun, tiba – tiba utusan Quraisiy menyela, “Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentu kami tidak akan menghalangimu ke Baitullah dan tidak akan memerangimu.” Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW. menukas, “Demi Allah sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah SAW. menukas, “Demi Allah, sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah, walaupun kalian tidak mengakuinya.” Kepada penulis itu, Beliau berkata lagi, “Tulislah apa yang mereka kehendaki, dan tulis pula, “Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad ibn Abdillah.”
Mendengar jawaban tuntas dan sangat memuaskan dari Abdullah bin Abbas, seketika itu juga kurang lebih dua puluh ribu pengikut Khawarij kembali ke pangkuan Khilafiyah Islamiyyah. Mereka akhirnya menarik diri dari permusuhan terhadap Imam Ali ra.
Kisah di atas memberikan teladan kepada kita, bagaimana cara menyelesaikan sengketa dengan orang – orang yang meyakini keyakinan dan pendapat yang menyimpang. Ketangguhan Ibnu Abbas dalam berargumentasi menjadi kunci kesuksesan Beliau untuk menyadarkan pengikut Khawarij (Jurnal El-Wa’e, No. 02/ Tahun I, 1-31 Oktober 2000, hal.48)
Inilah beberapa prinsip menyelesaikan perselisihan dengan tetangga. Pada dasarnya, konflik dan perselisihan adalah sesuatu yang lazim. Setiap orang pasti pernah berselisih, atau konflik dengan tetangga, teman, saudara, bahkan dengan dirinya sendiri. Tidak jarang pula, konflik itu datang berturut – turut tanpa bisa diselesaikan dengan memuaskan. Akhirnya, banyak orang menghindari konflik atau masalah karena merasa tidak mampu menghadapi dan menyelesaikannya. Akibatnya, ia terus dihadapkan pada konflik dan masalah yang bertumpuk – tumpuk. Sebab, ia hanya menghindari masalah, bukan menyelesaikan masalah.
Seorang Mukmin tidak perlu takut, atau menghindar dari masalah. Ia harus berani menghadapi masalah dan menyelesaikannya. Selama ia bersikap wajar terhadap konflik dan memahami jalan keluarnya, pasti ia akan keluar dari masalah dengan menuai hikmah dan kebaikan.
Tatkala perselisihan dan konflik antar tetangga bisa diminimalisir hingga mendekati titik nol, kehidupan bertetangga akan terasa menyenangkan dan membahagiakan. Bila keadaan ini tercapai, akan tumbuh di tengah – tengah mereka saling percaya dan memahami. Ketika kedua sifat ini telah membudaya di tengah – tengah mereka. Mereka akan berusaha meringankan dan membantu beban hidup satu dengan yang lain. Persaudaraan antar tetangga akan semakin erat, dan suasana hidup bertetangga diwarnai dengan ibadah dan ukhuwah.
Hal ini bisa terwujud, jika sendi – sendi yang membangun kehidupan bertetangga didasarkan pada tuntunan Allah dan Rasulullah SAW.. Tanpa landasan Al-Qur’an dan Sunnah, kehidupan bertetangga akan terasa hampa, kering, dan tidak menyegarkan. Lebih dari itu, tanpa ada keduanya, keluarga – keluarga Muslim akan dihinggapi penyakit cuekisme, semau gue, dan tidak peduli dengan tetangga – tetangga yang lain. Jika ini dibiarkan, lambat laun, keluarga – keluarga Muslim akan terasingkan dari kehidupan masyarakat dan bertetangga. Yang tersisa hanyalah rumah – rumah yang berdesak – desakan, sedangkan masing masing penghuni rumah itu tidak pernah peduli dan asing dengan tetangganya. Mereka tidak bertutur sapa, bahkan tidak pernah mengenal tetangga sebelahnya.
Alangkah indahnya, jika tetangga – tetangga kita (termasuk keluarga kita) memahami fiqih bertetangga yang Islamiy, harus dimulai menanamkan pandangan – pandangan Islam mengenai kehidupan bertetangga. Jika setiap keluarga memahami ketentuan – ketentuan Islam dalam bertetangga, mereka akan terdorong untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari – hari. Mereka juga akan menolak pandangan – pandangan dan sistem – sistem selain Islam yang hendak ditanamkan di tengah – tengah mereka. Mereka memahami bahwa kehancuran keluarga dan masyarakat disebabkan karena tidak diberlakukannya pranata Islam di tengah – tengah mereka.
Jika kondisi ini telah terwujud, maka kehidupan bertetangga yang menyenangkan dan menyegarkan akan terwujud di tengah – tengah masyarakat. Sebaliknya, jika pandangan keluarga – keluarga Muslim masih didominasi oleh pandangan – pandangan barat, tentunya mereka tidak akan pernah bisa membangun kehidupan bertetangga yang Islami, menyenangkan dan membahagiakan.
Untuk itu, pandangan masyarakat terhadap keluarga dan tetangga harus digeser dari pandangan non-Islami menuju pandangan Islam. Tatkala pandangan masyarakat berpaling kembali kepada Islam, dengan mudah mereka akan menerapkan prinsip – prinsip dan ketentuan – ketentuan Islam. dalam keadaan seperti ini, Islam akan timbul dan muncul di dalam sanubari dan tindak tanduk mereka, seraya bergerak untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang Islami.