Hutang piutang dengan tetangga adalah hal lumrah dan biasa dilakukan. Hanya saja pelaksannannya harus sesuai dengan tuntunan Islam.
Tatkala keadaan ekonomi keluarga berada dalam kondisi sulit, atau saat ada musibah yang membutuhkan pengeluaran lebih, hutang bisa dianggap sebagai salah satu alternatif solusi. Hutang piutang dengan tetangga adalah hal lumrah dan biasa. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa setiap orang dikaruniai rejeki oleh Allah SWT. dengan kadar yang berbeda-beda. Ada yang diberi rejeki melimpah, ada pula yang diberi rejeki pas-pasan, bahkan selalu kekurangan.
Ada pula yang hidupnya tidak pernah sepi dari berbagai macam cobaan dan ujian dari Allah SWT.. Namun, ada pula yang diberi kebahagiaan dan kesenangan oleh Allah SWT.. Dalam kondisi semacam ini, dibutuhkan sebuah mekanisme yang bisa menghubungkan antara pihak yang kekurangan dengan pihak yang memiliki kelebihan harta. Salah satu mekanisme penghubung dua belah pihak itu adalah hutang-piutang (qardl).
Tentunya, dengan disyariatkannya hutang-piutang akan meringankan dan memudahkan orang yang sedang ditimpa kesulitan. Di sisi yang lain, dengan adanya hutang piutang, orang-orang yang memiliki kelebihan harta terjauh dari sifat-sifat kikir dan bakhil. Sayyid Sabbiq menyatakan, bahwa qaradl (pinjam meminjam uang) adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT..
Sebab, dengan qaradl seseorang akan berlaku lembut, menyayangi mereka, serta memberikan kemudahan dalam urusan mereka, dan memberikan jalan keluar dari duka dan kekalutan yang menimpa mereka (Sayyid Sabbiq, Fiqh al-Sunnah, bab al-Qiraadl).
Islam menjelaskan dengan rinci hukum syariat yang berhubungan dengan hutang piutang. Hukum-hukum tersebut demikian detail dan terperinci, hingga tertutup kemungkinan adanya kecurangan, riba, dan kedzaliman.
Dalam khazanah fiqh, hutang piutang dimasukkan ke dalam bab qardl (hutang piutang). Qardl ditetapkan berdasarkan al-Qur an dan sunnah. Di dalam al-Quran, Allah SWT. berfirman:
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan pahala yang mulia (TQS al-Hadid [57]:11).
Di dalam sunnah, dituturkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
Barangsiapa menghilangkan kesulitan seorang Muslim, niscaya Allah akan menghilangkan kesulitan dari kesulitan-kesulitan di hari kiamat (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
Siapa saja yang melenyapkan dari seorang Mukmin kesulitan dari kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan melenyapkan kesulitan dari kesulitan-kesulitan di hari Kiamat. Dan barangsiapa memudahkan kesulitan seseorang, Allah akan memberikan kemudahan dunia dan akhirat… dan Allah SWT. selalu menolong hambaNya selama hambaNya menolong saudaranya (HR. Imam Muslim, Abu Dawud, dan al-Tirmidziy).
Dari lbnu Mas’ud dituturkan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
Tidak ada seorang Muslim yang mengqiradlkan hartanya kepada orang Muslim sebanyak dua kali, kecuali perbuatannya itu seperti sedekah satu kali (HR. Imam lbnu Majah dan lbnu Hibban).
Hukum bagi orang yang meminjami adalah sunnah, sedangkan orang yang meminjam berhukum mubah (jaiz). Artinya, orang yang meminjami saudaranya dengan uang akan mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT.. Sedangkan orang yang meminjam uang atau barang hukumnya mubah, alias jaiz.
Baca juga: Inilah 4 Akibat Ghibah Bagi Kehidupan Bertetangga
Menurut bahasa, al-qardl bermakna al-qath’u (memotong). Bila dikatakan qaradla al-syaia, maknanya adalah gatha’ahu (memotongnya). [lmam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihah, hal. 530] Disebut demikian, karena, orang yang meminjamkan hartanya kepada orang lain, telah memotong sebagian hartanya untuk orang lain.
Sedangkan menurut pengertian syara’, qardl adalah penyerahan harta kepada orang lain yang akan mengambil manfaatnya, untuk kemudian dikembalikan lagi (Abu Bakar al-Jazairiy, Minhaj al- Muslim, bab al-Qardl).
Jika seseorang berhutang kepada orang lain, ia harus memperhatikan syarat-syarat berikut ini:
Begitupula jika seseorang berutang barang/ hewan seperti kambing, unta, sapi, maka terdapat anjuran untuk mengembalikannya dengan hewan yang lebih baik seperti lebih gemuk atau lebih tua umurnya.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa Rasulullah SAW. pernah berutang unta muda kepada seseorang, Kemudian, datanglah unta sedekah (zakat), dan Beliau SAW. memerintahkan Abu Rafi’ untuk membayar hutang orang itu dari onta sedekah. Namun Abu Rafi’ tidak menjumpai satupun unta muda dari unta-unta sedekah itu, kecuali unta pilihan yang sudah berumur 6 tahun masuk ke 7 tahun. Nabi SAW. tantas bersabda
Berikanlah kepadanya. Sesungguhnya, sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang (HR. Imam Muslim dan Imam Ahmad).
Dalam riwayat lain dituturkan, bahwa Jabir bin-Abdullah kata:
Aku pernah mempunyai hak kepada Rasulullah SAW.. Beliau lalu membayarku dan Beliau melebihkan untukku (HR. Imam Bukhari dan Muslim, dan Imam Ahmad).
Namun, jika kelebihan itu diminta oleh orang yang meminjami baik karena keterlambatan membayar, atau karena alasan yang lain, maka hal semacam ini termasuk riba.
Jika peminjam telah mampu membayar hutangnya, hendaknya ia segera membayar hutangnya. Dalam banyak riwayat, Rasulullah SAW. memerintahkan agar orang yang memiliki hutang mempercepat pembayarannya sebelum datang kematian kepadanya.
Imam Ahmad mengetengahkan sebuah hadits, bahwa seseorang pernah bertanya kepada Nabi SAW. tentang saudaranya yang meninggal dunia sedangkan ia masih memiliki hutang. Rasulullah SAW. bersabda:
“Dia terbelenggu dengan hutangnya, maka lunasilah hutangnya.” Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah membayarkannya, kecuali dua dinar yang diakui oleh seorang wanita, tetapi ia tidak mempunyai bukti. Rasulullah SAW. bersabda, “Berikan kepadanya, dia yang lebih berhak.” (HR. Imam Ahmad).
Dalam riwayat lain dituturkan, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
“Wahai Rasulullah, bagaimanakah jika aku berjihad dengan jiwa dan hartaku, aku berperang dengan penuh sabar demi mengharap pahala Allah dan maju terus pantang mundur, apakah aku masuk surga?” Rasulullah SAW. menjawab,”Ya.” Beliau mengulanginya sebanyak dua atau tiga kali, kemudian Beliau bersabda, “Ya, kecuali jika kamu mati dan kamu masih memiliki hutang, serta kamu tidak membayarnya.”
Rasulullah SAW. mengabarkan tentang ancaman yang amat keras dalam masalah hutang. Rasulullah SAW. bersabda:
Dalam hutang; demi Dzat yang diriku berada di bawah kekuasaanNya, sekiranya seseorang gugur di jalan Allah, kemudian ia hidup lagi, dan gugur lagi dijalan Allah, lalu hidup lagi, lalu gugur lagi dijalan Allah, ia tidak akan masuk surga sebelum ia membayar hutangnya (HR. Imam Ahmad).
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, dimana Rasulullah SAW. bersabda:
Siapa yang mengambil harta manusia sedangkan ia menghendaki untuk mengembalikannya, niscaya Allah SWT. mengembalikannya. Siapa saja yang mengambilnya, tetapi dia menghendaki menghabiskannya, niscaya Allah menghabiskannya. (HR. Imam Bukhari)
Inilah beberapa riwayat yang mendorong orang yang berhutang untuk segera melunasi hutang-hutangnya.
Baca juga: Fiqih Bertetangga : Adab Menerima Tamu
Adalah termasuk kedzaliman, jika seseorang telah mampu membayar hutang-hutangnya, namun ia menunda-nundanya. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
Menunda-nunda pembayaran bagi yang mampu membayar adalah kedzaliman. Apabila salah seorang diantara kamu hutangnya diambil alih oleh orang kaya, maka hendaklah ia terima pengambilalihannya (HR. Imam Abu Dawud, dan lain-lain).
Seseorang yang telah mampu membayar hutang-hutangnya, hendaknya ia segera melunasinya. Selain akan memudahkan orang yang meminjaminya, pelunasan segera akan menyelamatkan dirinya dari belenggu hutang setelah kematiannya.
Jika peminjam masih berada dalam kesulitan, disunnahkan bagi orang yang meminjami menangguhkan tagihannya, atau bahkan membebaskan sama sekali hutangnya.
Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan sangat jetas. Allah SWT. berfirman:
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah penangguhan waktu sampai ia mempunyai kelapangan, dan menyedekahkan (sebagian atau semua) hutang, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya (TQS Al Baqarah (2): 280).
Keutamaan penangguhan atau pembebasan hutang sebagian atau seluruhnya, juga disebutkan di dalam sunnah. Dari Abu Qatadah diriwayatkan, bahwa ia pernah menagih hutang kepada seseorang, akan tetapi orang tersebut bersembunyi sampai akhirnya ia ditemukan. Orang itu lantas berkata:
Dari Ka’ab bin’Umar (Abu al-Yasir) diriwayatkan, bahwa ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
Siapa yang memberikan penangguhan kepada orang yang dalam kesulitan atau membebaskannya, niscaya Allah akan memayunginya di bawah naunganNya (HR. Imam Muslim).
Pada dasarnya, penangguhan penagihan hutang, atau pembebasan hutang ketika pengutang masih berada dalam kesulitan, merupakan kemudahan dan kabar gembira bagi dirinya. Sebab, orang yang berhutang biasanya akan tertekan, bahkan tidak jarang merasa minder dan takut untuk sekedar bertemu dengan orang yang meminjaminya. Sampai-sampai Rasulullah SAW. mengajarkan doa kepada orang yang banyak hutang, agar ia terlindung dari hutang piutang dan diberi kemudahan oleh Allah SWR. dalam membayarnya.
Dart Abu Said al-Khudriy diriwayatkan, bahwasanya dahulu ada seorang bernama Abu Umamah. Beliau adalah orang yang sangat miskin. Siang malam Beliau tinggal di dalam masjid, sehingga Rasulullah SAW. mengetahul hal tersebut. Abu Umamah dipanggil oleh Rasulullah SAW. dan ditanya mengapa ia sering tinggal di masjid. Abu Umamah menerangkan bahwa ia sedang berada dalam kesusahan dan kesedihan dan tak betah tinggal di rumah karena banyak hutang. Rasulullah SAW. pun iba, dan bersabda:
Dalam riwayat lain dituturkan bahwa Ali bin Abi Thalib ra didatangi oleh seorang mukatab (budak yang membebaskan dirinya dengan jalan membayar kepada tuannya). Ia berkata:
Baca juga: Adab Adab Bertamu Di Dalam Rumah Tetangga
Daftar Pustaka
Syamsuddin Ramadlan an-Nawiy, Fathiy (2018). Fiqih Bertetangga. Bogor: Al Azhar Fresh Zone Publishing.
Hutang piutang dengan tetangga adalah hal lumrah dan biasa dilakukan. Hanya saja pelaksannannya harus sesuai dengan tuntunan Islam.
Tatkala keadaan ekonomi keluarga berada dalam kondisi sulit, atau saat ada musibah yang membutuhkan pengeluaran lebih, hutang bisa dianggap sebagai salah satu alternatif solusi. Hutang piutang dengan tetangga adalah hal lumrah dan biasa. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa setiap orang dikaruniai rejeki oleh Allah SWT. dengan kadar yang berbeda-beda. Ada yang diberi rejeki melimpah, ada pula yang diberi rejeki pas-pasan, bahkan selalu kekurangan.
Ada pula yang hidupnya tidak pernah sepi dari berbagai macam cobaan dan ujian dari Allah SWT.. Namun, ada pula yang diberi kebahagiaan dan kesenangan oleh Allah SWT.. Dalam kondisi semacam ini, dibutuhkan sebuah mekanisme yang bisa menghubungkan antara pihak yang kekurangan dengan pihak yang memiliki kelebihan harta. Salah satu mekanisme penghubung dua belah pihak itu adalah hutang-piutang (qardl).
Tentunya, dengan disyariatkannya hutang-piutang akan meringankan dan memudahkan orang yang sedang ditimpa kesulitan. Di sisi yang lain, dengan adanya hutang piutang, orang-orang yang memiliki kelebihan harta terjauh dari sifat-sifat kikir dan bakhil. Sayyid Sabbiq menyatakan, bahwa qaradl (pinjam meminjam uang) adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT..
Sebab, dengan qaradl seseorang akan berlaku lembut, menyayangi mereka, serta memberikan kemudahan dalam urusan mereka, dan memberikan jalan keluar dari duka dan kekalutan yang menimpa mereka (Sayyid Sabbiq, Fiqh al-Sunnah, bab al-Qiraadl).
Islam menjelaskan dengan rinci hukum syariat yang berhubungan dengan hutang piutang. Hukum-hukum tersebut demikian detail dan terperinci, hingga tertutup kemungkinan adanya kecurangan, riba, dan kedzaliman.
Dalam khazanah fiqh, hutang piutang dimasukkan ke dalam bab qardl (hutang piutang). Qardl ditetapkan berdasarkan al-Qur an dan sunnah. Di dalam al-Quran, Allah SWT. berfirman:
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan pahala yang mulia (TQS al-Hadid [57]:11).
Di dalam sunnah, dituturkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
Barangsiapa menghilangkan kesulitan seorang Muslim, niscaya Allah akan menghilangkan kesulitan dari kesulitan-kesulitan di hari kiamat (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
Siapa saja yang melenyapkan dari seorang Mukmin kesulitan dari kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan melenyapkan kesulitan dari kesulitan-kesulitan di hari Kiamat. Dan barangsiapa memudahkan kesulitan seseorang, Allah akan memberikan kemudahan dunia dan akhirat… dan Allah SWT. selalu menolong hambaNya selama hambaNya menolong saudaranya (HR. Imam Muslim, Abu Dawud, dan al-Tirmidziy).
Dari lbnu Mas’ud dituturkan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
Tidak ada seorang Muslim yang mengqiradlkan hartanya kepada orang Muslim sebanyak dua kali, kecuali perbuatannya itu seperti sedekah satu kali (HR. Imam lbnu Majah dan lbnu Hibban).
Hukum bagi orang yang meminjami adalah sunnah, sedangkan orang yang meminjam berhukum mubah (jaiz). Artinya, orang yang meminjami saudaranya dengan uang akan mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT.. Sedangkan orang yang meminjam uang atau barang hukumnya mubah, alias jaiz.
Baca juga: Inilah 4 Akibat Ghibah Bagi Kehidupan Bertetangga
Menurut bahasa, al-qardl bermakna al-qath’u (memotong). Bila dikatakan qaradla al-syaia, maknanya adalah gatha’ahu (memotongnya). [lmam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihah, hal. 530] Disebut demikian, karena, orang yang meminjamkan hartanya kepada orang lain, telah memotong sebagian hartanya untuk orang lain.
Sedangkan menurut pengertian syara’, qardl adalah penyerahan harta kepada orang lain yang akan mengambil manfaatnya, untuk kemudian dikembalikan lagi (Abu Bakar al-Jazairiy, Minhaj al- Muslim, bab al-Qardl).
Jika seseorang berhutang kepada orang lain, ia harus memperhatikan syarat-syarat berikut ini:
Begitupula jika seseorang berutang barang/ hewan seperti kambing, unta, sapi, maka terdapat anjuran untuk mengembalikannya dengan hewan yang lebih baik seperti lebih gemuk atau lebih tua umurnya.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa Rasulullah SAW. pernah berutang unta muda kepada seseorang, Kemudian, datanglah unta sedekah (zakat), dan Beliau SAW. memerintahkan Abu Rafi’ untuk membayar hutang orang itu dari onta sedekah. Namun Abu Rafi’ tidak menjumpai satupun unta muda dari unta-unta sedekah itu, kecuali unta pilihan yang sudah berumur 6 tahun masuk ke 7 tahun. Nabi SAW. tantas bersabda
Berikanlah kepadanya. Sesungguhnya, sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang (HR. Imam Muslim dan Imam Ahmad).
Dalam riwayat lain dituturkan, bahwa Jabir bin-Abdullah kata:
Aku pernah mempunyai hak kepada Rasulullah SAW.. Beliau lalu membayarku dan Beliau melebihkan untukku (HR. Imam Bukhari dan Muslim, dan Imam Ahmad).
Namun, jika kelebihan itu diminta oleh orang yang meminjami baik karena keterlambatan membayar, atau karena alasan yang lain, maka hal semacam ini termasuk riba.
Jika peminjam telah mampu membayar hutangnya, hendaknya ia segera membayar hutangnya. Dalam banyak riwayat, Rasulullah SAW. memerintahkan agar orang yang memiliki hutang mempercepat pembayarannya sebelum datang kematian kepadanya.
Imam Ahmad mengetengahkan sebuah hadits, bahwa seseorang pernah bertanya kepada Nabi SAW. tentang saudaranya yang meninggal dunia sedangkan ia masih memiliki hutang. Rasulullah SAW. bersabda:
“Dia terbelenggu dengan hutangnya, maka lunasilah hutangnya.” Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah membayarkannya, kecuali dua dinar yang diakui oleh seorang wanita, tetapi ia tidak mempunyai bukti. Rasulullah SAW. bersabda, “Berikan kepadanya, dia yang lebih berhak.” (HR. Imam Ahmad).
Dalam riwayat lain dituturkan, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
“Wahai Rasulullah, bagaimanakah jika aku berjihad dengan jiwa dan hartaku, aku berperang dengan penuh sabar demi mengharap pahala Allah dan maju terus pantang mundur, apakah aku masuk surga?” Rasulullah SAW. menjawab,”Ya.” Beliau mengulanginya sebanyak dua atau tiga kali, kemudian Beliau bersabda, “Ya, kecuali jika kamu mati dan kamu masih memiliki hutang, serta kamu tidak membayarnya.”
Rasulullah SAW. mengabarkan tentang ancaman yang amat keras dalam masalah hutang. Rasulullah SAW. bersabda:
Dalam hutang; demi Dzat yang diriku berada di bawah kekuasaanNya, sekiranya seseorang gugur di jalan Allah, kemudian ia hidup lagi, dan gugur lagi dijalan Allah, lalu hidup lagi, lalu gugur lagi dijalan Allah, ia tidak akan masuk surga sebelum ia membayar hutangnya (HR. Imam Ahmad).
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, dimana Rasulullah SAW. bersabda:
Siapa yang mengambil harta manusia sedangkan ia menghendaki untuk mengembalikannya, niscaya Allah SWT. mengembalikannya. Siapa saja yang mengambilnya, tetapi dia menghendaki menghabiskannya, niscaya Allah menghabiskannya. (HR. Imam Bukhari)
Inilah beberapa riwayat yang mendorong orang yang berhutang untuk segera melunasi hutang-hutangnya.
Baca juga: Fiqih Bertetangga : Adab Menerima Tamu
Adalah termasuk kedzaliman, jika seseorang telah mampu membayar hutang-hutangnya, namun ia menunda-nundanya. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
Menunda-nunda pembayaran bagi yang mampu membayar adalah kedzaliman. Apabila salah seorang diantara kamu hutangnya diambil alih oleh orang kaya, maka hendaklah ia terima pengambilalihannya (HR. Imam Abu Dawud, dan lain-lain).
Seseorang yang telah mampu membayar hutang-hutangnya, hendaknya ia segera melunasinya. Selain akan memudahkan orang yang meminjaminya, pelunasan segera akan menyelamatkan dirinya dari belenggu hutang setelah kematiannya.
Jika peminjam masih berada dalam kesulitan, disunnahkan bagi orang yang meminjami menangguhkan tagihannya, atau bahkan membebaskan sama sekali hutangnya.
Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan sangat jetas. Allah SWT. berfirman:
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah penangguhan waktu sampai ia mempunyai kelapangan, dan menyedekahkan (sebagian atau semua) hutang, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya (TQS Al Baqarah (2): 280).
Keutamaan penangguhan atau pembebasan hutang sebagian atau seluruhnya, juga disebutkan di dalam sunnah. Dari Abu Qatadah diriwayatkan, bahwa ia pernah menagih hutang kepada seseorang, akan tetapi orang tersebut bersembunyi sampai akhirnya ia ditemukan. Orang itu lantas berkata:
Dari Ka’ab bin’Umar (Abu al-Yasir) diriwayatkan, bahwa ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
Siapa yang memberikan penangguhan kepada orang yang dalam kesulitan atau membebaskannya, niscaya Allah akan memayunginya di bawah naunganNya (HR. Imam Muslim).
Pada dasarnya, penangguhan penagihan hutang, atau pembebasan hutang ketika pengutang masih berada dalam kesulitan, merupakan kemudahan dan kabar gembira bagi dirinya. Sebab, orang yang berhutang biasanya akan tertekan, bahkan tidak jarang merasa minder dan takut untuk sekedar bertemu dengan orang yang meminjaminya. Sampai-sampai Rasulullah SAW. mengajarkan doa kepada orang yang banyak hutang, agar ia terlindung dari hutang piutang dan diberi kemudahan oleh Allah SWR. dalam membayarnya.
Dart Abu Said al-Khudriy diriwayatkan, bahwasanya dahulu ada seorang bernama Abu Umamah. Beliau adalah orang yang sangat miskin. Siang malam Beliau tinggal di dalam masjid, sehingga Rasulullah SAW. mengetahul hal tersebut. Abu Umamah dipanggil oleh Rasulullah SAW. dan ditanya mengapa ia sering tinggal di masjid. Abu Umamah menerangkan bahwa ia sedang berada dalam kesusahan dan kesedihan dan tak betah tinggal di rumah karena banyak hutang. Rasulullah SAW. pun iba, dan bersabda:
Dalam riwayat lain dituturkan bahwa Ali bin Abi Thalib ra didatangi oleh seorang mukatab (budak yang membebaskan dirinya dengan jalan membayar kepada tuannya). Ia berkata:
Baca juga: Adab Adab Bertamu Di Dalam Rumah Tetangga
Daftar Pustaka
Syamsuddin Ramadlan an-Nawiy, Fathiy (2018). Fiqih Bertetangga. Bogor: Al Azhar Fresh Zone Publishing.