logo Sharia Green Land panjang 2
Desember 5, 2020

Bagaimana Seharusnya Menyikapi Perbedaan yang Ada di Rumah?

Allah menciptakan manusia dengan berbagai bahasa, suku, bangsa, dan warna kulit yang berbeda. Sehingga menjadi hal yang wajar jika terdapat perbedaan pendapat antar manusia. Karena dengan perbedaan tersebut justru menjadikan hidup lebih berwarna.

ayat Bagaimana Seharusnya Menyikapi Perbedaan yang Ada di Rumah QS Al-Hujurat 13

Jangankan di dalam ruang lingkup yang luas seperti masyarakat atau negara, di dalam rumah tangga saja sering terjadi perbedaan pendapat. Suami bisa saja berbeda pandangan dengan istrinya, atau orang tua dengan anaknya.

Lalu,

Bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan yang ada di rumah?

Sebaiknya kita berlapang dada ketika terjadi perbedaan pendapat dalam hal cabang (furu) namun tegas ketika sudah menyangkut masalah pokok (Ushul). Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas dulu mengenai kedua hal ini.

Kenali Perbedaan Ushul dan Furu

Ketika terjadi perbedaan pendapat, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu apakah perbedaan tersebut menyangkut hal pokok (ushul) atau cabang (furu).

Masalah Pokok (Ushul)

Masalah pokok (ushul) biasanya berhubungan dengan akidah, tauhid, ataupun rukun iman yang lima. Kita tidak diperbolehkan memperdebatkan masalah ushul. Karena dalil yang menerangkan hal ini, baik Al-Quran maupun hadis sudah jelas, qath’i (pasti), sharih (jelas petunjuk lafaznya), dan muhkam (tidak ada kemungkinan penafsiran lain).

Masalah ushul dapat diibaratkan batang pohon yang menopang cabang-cabang yang sangat banyak. Batang pohon harus ada satu, tidak boleh lebih. Jika ada yang berani mengotak-atik masalah akidah, maka tidak ada toleransi baginya. Karena hal tersebut sudah tidak bisa disebut lagi perbedaan pendapat, melainkan sudah termasuk kategori penyimpangan.

Baca juga: 5 Langkah Sederhana Membangun Keluarga Sakinah

Masalah Cabang (Furu)

Masalah cabang (furu) merupakan masalah diluar ushul yang cakupannya sangat luas. Hampir semua aktivitas seorang muslim mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali berhubungan dengan masalah furu.

Dalil yang berhubungan dengan masalah furu seringkali menimbulkan multitafsir. Sehingga tidak heran jika terjadi perbedaan pandangan di kalangan para ulama atau mujtahid.

Masalah furu bisa diibaratkan seperti cabang, dahan, atau ranting yang jumlahnya sangat banyak, tidak seperti batang pohon yang hanya satu. Sehingga dalam ranah ini kita diperbolehkan memiliki perbedaan pendapat.

Salah satu ciri khas dari masalah furu biasanya berkaitan dengan masalah fiqih ibadah, seperti qunut pada shalat subuh, jumlah rakaat shalat tarawih, atau bisa juga mengenai dibaca tidaknya basmalah pada surat Al-Fatihah saat shalat berjamaah. Menyikapi perbedaan ini kita dituntut untuk bisa berlapang dada.

Hal ini pernah dicontohkan oleh Imam Syafii ketika mendapat kesempatan menjadi imam shalat subuh di kalangan murid-murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafii tidak melaksanakan qunut, meskipun beliau berpandangan qunut termasuk hal yang disunahkan saat shalat subuh. Beliau lebih mengutamakan adab dibanding perbedaan fiqih yang ijtihadi.

Arif Menyikapi Perbedaan Dalam Keluarga

Ketika pendapat yang disampaikan oleh anggota keluarga kita sudah dapat dipastikan mengarah kepada kemaksiatan atau melenceng dari aqidah. Maka kita harus tegas untuk menolaknya. Hanya saja perlu dilakukan dengan adab yang baik, terlebih lagi kita kita berada pada posisi sebagai anak. Lebih baik lagi jika kita bisa meluruskan pendapat tersebut.

Namun, jika perbedaan pendapat yang terjadi menyangkut masalah furu atau fiqih, maka kita harus arif dalam menyikapinya. Masalah furu bukanlah hal yang perlu diributkan apalagi sampai terjadi perpecahan dalam keluarga.

Baca juga: Bagaimana Cara Menyikapi Perbedaan Pendapat?

Turunkan Ego

Salah satu cara supaya kita bisa menerima perbedaan pendapat adalah dengan menurunkan ego. Ketika rasa ego telah mendominasi dalam sebuah hubungan, maka bisa menyebabkan kita malu untuk meminta atau menerima pendapat orang lain.

Ada kisah menarik berkenaan dengan sikap menurunkan ego yang dicontohkan oleh Rasulullah saat perang Khaibar terjadi. Meskipun latarnya bukan mengenai perbedaan pendapat dalam keluarga, mudah-mudahan sikap ini bisa menjadi salah satu solusinya.

Seperti yang kita ketahui bersama, perang Khaibar dimenangkan oleh kaum Muslimin atas kaum Yahudi. Sudah menjadi hal yang lumrah, korban perang akan menjadi tawanan pihak yang menang.

Saat itu ada seorang wanita terhormat dari Bani Quraidzah dan Bani Nadzir yang menjadi tawanan perang, namanya Shafiyyah binti Huyay. Ia telah kehilangan suami, ayah, dan seluruh keluarganya akibat perang tersebut. Sehingga tidak heran jika ia sangat membenci Rasulullah SAW.

Menyikapi hal itu Rasulullah SAW. pun mengunjungi Shaffiyah untuk meminta maaf dan memberikan penjelasan mengenai bagaimana peperangan tersebut terjadi. Meski sebenarnya kematian mereka bukan disebabkan Rasulullah SAW, namun beliau menurunkan egonya dengan meminta maaf.

Hal tersebut dilakukan secara berulang-ulang, hingga pada akhirnya Shaffiyah mulai luluh dan bersikap terbuka kepada Rasulullah SAW. Shafiyyah bercerita, bahwa sebelum Rasulullah SAW. datang ke Khaibar, ia bermimpi bahwa rembulan jatuh kepangkuannya. Ia lalu menceritakan mimpi tersebut kepada suaminya. Karena suaminya mengerti arti mimpi tersebut, lantas ia memukul istrinya hingga terlihat lebam biru di pipinya Shafiyyah.

Lalu Rasulullah SAW. pun menjelaskan arti mimpi tersebut, bahwa Shafiyyah akan dianugerahi kerajaan yang ada di Madinah. Dengan kata lain, Shafiyyah ditakdirkan untuk menjadi istrinya Rasulullah SAW. Hal ini terbukti, atas petunjuk Allah akhirnya Rasulullah SAW pun menjadikan Shafiyyah sebagai istrinya.

Salah satu pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah tersebut adalah, ketika kita menurunkan ego, maka orang lain pun akan luluh. Terlihat bagaimana saat Shafiyyah yang awalnya sangat benci Rasulullah SAW. justru berbalik menjadi sangat mencintainya ketika Rasulullah menurunkan egonya.

Baca juga: Cara Islam Menyikapi Perbedaan Pendapat

Penutup

Demikian penjelasan mengenai “Bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan yang ada di rumah?”. Kita harus toleran selama yang diperdebatkan masih tergolong masalah furu, namun harus tegas ketika sudah menyangkut masalah ushul. Wallahu A’lam.

(Diedit oleh Nizar Tegar)

Article written by Hasannudin
LOGO resmi SHARIA GREEN LAND
Sharia Green Land merupakan Developer Properti yang telah berdiri sejak 12 Februari 2015. Memiliki visi besar untuk membangun kawasan islami bagi masyarakat muslim. Tidak hanya menyediakan hunian untuk tempat tinggal. Namun juga kawasan islami diharapkan mampu memberikan ketenangan hati. Karena rumah lebih dari sekedar tempat tinggal.
Kenali Lebih Jauh

Tulisan Serupa

Mau mendapatkan informasi mengenai tulisan terupdate?

Silahkan isi form di bawah
Desember 5, 2020

Bagaimana Seharusnya Menyikapi Perbedaan yang Ada di Rumah?

Allah menciptakan manusia dengan berbagai bahasa, suku, bangsa, dan warna kulit yang berbeda. Sehingga menjadi hal yang wajar jika terdapat perbedaan pendapat antar manusia. Karena dengan perbedaan tersebut justru menjadikan hidup lebih berwarna.

ayat Bagaimana Seharusnya Menyikapi Perbedaan yang Ada di Rumah QS Al-Hujurat 13

Jangankan di dalam ruang lingkup yang luas seperti masyarakat atau negara, di dalam rumah tangga saja sering terjadi perbedaan pendapat. Suami bisa saja berbeda pandangan dengan istrinya, atau orang tua dengan anaknya.

Lalu,

Bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan yang ada di rumah?

Sebaiknya kita berlapang dada ketika terjadi perbedaan pendapat dalam hal cabang (furu) namun tegas ketika sudah menyangkut masalah pokok (Ushul). Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas dulu mengenai kedua hal ini.

Kenali Perbedaan Ushul dan Furu

Ketika terjadi perbedaan pendapat, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu apakah perbedaan tersebut menyangkut hal pokok (ushul) atau cabang (furu).

Masalah Pokok (Ushul)

Masalah pokok (ushul) biasanya berhubungan dengan akidah, tauhid, ataupun rukun iman yang lima. Kita tidak diperbolehkan memperdebatkan masalah ushul. Karena dalil yang menerangkan hal ini, baik Al-Quran maupun hadis sudah jelas, qath’i (pasti), sharih (jelas petunjuk lafaznya), dan muhkam (tidak ada kemungkinan penafsiran lain).

Masalah ushul dapat diibaratkan batang pohon yang menopang cabang-cabang yang sangat banyak. Batang pohon harus ada satu, tidak boleh lebih. Jika ada yang berani mengotak-atik masalah akidah, maka tidak ada toleransi baginya. Karena hal tersebut sudah tidak bisa disebut lagi perbedaan pendapat, melainkan sudah termasuk kategori penyimpangan.

Baca juga: 5 Langkah Sederhana Membangun Keluarga Sakinah

Masalah Cabang (Furu)

Masalah cabang (furu) merupakan masalah diluar ushul yang cakupannya sangat luas. Hampir semua aktivitas seorang muslim mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali berhubungan dengan masalah furu.

Dalil yang berhubungan dengan masalah furu seringkali menimbulkan multitafsir. Sehingga tidak heran jika terjadi perbedaan pandangan di kalangan para ulama atau mujtahid.

Masalah furu bisa diibaratkan seperti cabang, dahan, atau ranting yang jumlahnya sangat banyak, tidak seperti batang pohon yang hanya satu. Sehingga dalam ranah ini kita diperbolehkan memiliki perbedaan pendapat.

Salah satu ciri khas dari masalah furu biasanya berkaitan dengan masalah fiqih ibadah, seperti qunut pada shalat subuh, jumlah rakaat shalat tarawih, atau bisa juga mengenai dibaca tidaknya basmalah pada surat Al-Fatihah saat shalat berjamaah. Menyikapi perbedaan ini kita dituntut untuk bisa berlapang dada.

Hal ini pernah dicontohkan oleh Imam Syafii ketika mendapat kesempatan menjadi imam shalat subuh di kalangan murid-murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafii tidak melaksanakan qunut, meskipun beliau berpandangan qunut termasuk hal yang disunahkan saat shalat subuh. Beliau lebih mengutamakan adab dibanding perbedaan fiqih yang ijtihadi.

Arif Menyikapi Perbedaan Dalam Keluarga

Ketika pendapat yang disampaikan oleh anggota keluarga kita sudah dapat dipastikan mengarah kepada kemaksiatan atau melenceng dari aqidah. Maka kita harus tegas untuk menolaknya. Hanya saja perlu dilakukan dengan adab yang baik, terlebih lagi kita kita berada pada posisi sebagai anak. Lebih baik lagi jika kita bisa meluruskan pendapat tersebut.

Namun, jika perbedaan pendapat yang terjadi menyangkut masalah furu atau fiqih, maka kita harus arif dalam menyikapinya. Masalah furu bukanlah hal yang perlu diributkan apalagi sampai terjadi perpecahan dalam keluarga.

Baca juga: Bagaimana Cara Menyikapi Perbedaan Pendapat?

Turunkan Ego

Salah satu cara supaya kita bisa menerima perbedaan pendapat adalah dengan menurunkan ego. Ketika rasa ego telah mendominasi dalam sebuah hubungan, maka bisa menyebabkan kita malu untuk meminta atau menerima pendapat orang lain.

Ada kisah menarik berkenaan dengan sikap menurunkan ego yang dicontohkan oleh Rasulullah saat perang Khaibar terjadi. Meskipun latarnya bukan mengenai perbedaan pendapat dalam keluarga, mudah-mudahan sikap ini bisa menjadi salah satu solusinya.

Seperti yang kita ketahui bersama, perang Khaibar dimenangkan oleh kaum Muslimin atas kaum Yahudi. Sudah menjadi hal yang lumrah, korban perang akan menjadi tawanan pihak yang menang.

Saat itu ada seorang wanita terhormat dari Bani Quraidzah dan Bani Nadzir yang menjadi tawanan perang, namanya Shafiyyah binti Huyay. Ia telah kehilangan suami, ayah, dan seluruh keluarganya akibat perang tersebut. Sehingga tidak heran jika ia sangat membenci Rasulullah SAW.

Menyikapi hal itu Rasulullah SAW. pun mengunjungi Shaffiyah untuk meminta maaf dan memberikan penjelasan mengenai bagaimana peperangan tersebut terjadi. Meski sebenarnya kematian mereka bukan disebabkan Rasulullah SAW, namun beliau menurunkan egonya dengan meminta maaf.

Hal tersebut dilakukan secara berulang-ulang, hingga pada akhirnya Shaffiyah mulai luluh dan bersikap terbuka kepada Rasulullah SAW. Shafiyyah bercerita, bahwa sebelum Rasulullah SAW. datang ke Khaibar, ia bermimpi bahwa rembulan jatuh kepangkuannya. Ia lalu menceritakan mimpi tersebut kepada suaminya. Karena suaminya mengerti arti mimpi tersebut, lantas ia memukul istrinya hingga terlihat lebam biru di pipinya Shafiyyah.

Lalu Rasulullah SAW. pun menjelaskan arti mimpi tersebut, bahwa Shafiyyah akan dianugerahi kerajaan yang ada di Madinah. Dengan kata lain, Shafiyyah ditakdirkan untuk menjadi istrinya Rasulullah SAW. Hal ini terbukti, atas petunjuk Allah akhirnya Rasulullah SAW pun menjadikan Shafiyyah sebagai istrinya.

Salah satu pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah tersebut adalah, ketika kita menurunkan ego, maka orang lain pun akan luluh. Terlihat bagaimana saat Shafiyyah yang awalnya sangat benci Rasulullah SAW. justru berbalik menjadi sangat mencintainya ketika Rasulullah menurunkan egonya.

Baca juga: Cara Islam Menyikapi Perbedaan Pendapat

Penutup

Demikian penjelasan mengenai “Bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan yang ada di rumah?”. Kita harus toleran selama yang diperdebatkan masih tergolong masalah furu, namun harus tegas ketika sudah menyangkut masalah ushul. Wallahu A’lam.

(Diedit oleh Nizar Tegar)

Tags:  
Article written by Hasannudin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LOGO resmi SHARIA GREEN LAND
Sharia Green Land merupakan Developer Properti yang telah berdiri sejak 12 Februari 2015. Memiliki visi besar untuk membangun kawasan islami bagi masyarakat muslim. Tidak hanya menyediakan hunian untuk tempat tinggal. Namun juga kawasan islami diharapkan mampu memberikan ketenangan hati. Karena rumah lebih dari sekedar tempat tinggal.
Kenali Lebih Jauh

Mau mendapatkan informasi mengenai tulisan terupdate?

Silahkan isi form di bawah