Adanya perbedaan pendapat wajar terjadi, yang lebih penting adalah cara menyikapinya.
Perbedaan pendapat merupakan hal yang sangat lumrah terjadi. Bahkan di kalangan para sahabat dan ulama sekalipun tidak jarang terjadi perbedaan pendapat. Namun hal ini tidak membuat mereka saling berselisih dan membenci. Sehingga tidak heran jika banyak ulama yang menganjurkan kita untuk mempelajari tentang bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat.
Mau bukti? yuk kita lihat bagaimana sahabat memberikan contoh ketika menyikapi perbedaan pandangan.
Pada suatu ketika di waktu musim haji, Usman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Umar menjalankan ibadah haji bersama. Usman selaku imam shalat dzuhur dan ashar ketika itu menjamak shalat dzuhur dan ashar masing – masing empat rakaat. Padahal Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Umar memiliki pandangan dan kebiasaan yang berbeda, yaitu meng-qashar dzuhur dan ashar dua rakaat ketika sampai di Mina.
Meski begitu kedua sahabat ini tetap mengikuti tindakan Usman bin Affan saat itu. Ketika ditanya kenapa mengikuti Usman melaksanakan shalat dzuhur empat rakaat, lantas Abdullah bin Mas’ud menjawab “Al-Khilafun Sarrun”, artinya perbedaan itu buruk.
Dari sini kita bisa belajar bahwa perbedaan itu adalah hal yang wajar. Selama perbedaan itu masih dalam batasan masalah cabang (furu) dan bukan permasalahan mendasar (ushul), maka seharusnya bisa ditolerir. Selain itu, kejadian tersebut menunjukan bahwa, semakin luas ilmu agama seseorang maka ia akan semakin bijak dalam menyikapi perbedaan, bukannya malah memperuncing masalah. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka akan jauhlah dia dari tindakan membid’ahkan, mencela, atau mencaci orang lain ketika terjadi perbedaan.
Ada contoh lain yang bisa kita petik hikmahnya dari perbedaan pendapat di kalangan ulama. Misalnya apa yang telah dicontohkan oleh imam Syafii.
Sebagaimana yang sebagian besar kita ketahui bahwa Imam Syafii memandang qunut sebagai sesuatu hal yang disunahkan. Namun ketika diberi kesempatan untuk menjadi imam shalat subuh di kalangan murid-murid Abu Hanifah, beliau tidak melaksanakan qunut. Hal ini semata-mata dilakukan karena adab lebih utama ketimbang perbedaan dalam hal fiqih yang ijtihadi.
Kejadian di atas memberikan hikmah bahwa menghargai perbedaan lebih utama dibandingkan memaksakan pendapat. Berbeda pendapat boleh-boleh saja, namun jangan sampai mencaci, menghina, apalagi membid’ahkan orang lain. Selama diambil dari dalil yang shahih seharusnya tidak menjadi masalah. Jangan sampai permasalahan cabang (furu) malah memecahkan persatuan di kalangan umat islam. Naudzubillah Min Dzalik
Ada pemahaman yang harus ditanamkan ketika menyikapi perbedaan di kalangan para ulama, yaitu tidak ada seorangpun manusia di bumi ini yang bebas dari dosa (maksum) kecuali nabi dan rasul. Sehingga sangat wajar jika ulama juga memiliki kesalahan yang mungkin dilakukan. Namun tentunya kesalahan para ulama sangat berbeda dengan kesalahan yang biasa dilakukan oleh kita selaku masyarakat pada umumnya.
Kesalahan yang dilakukan oleh ulama yang telah mencapai taraf mujtahid masih bernilai pahala sebesar satu, sedangkan jika benar bernilai pahala dua. Berbeda halnya dengan kesalahan yang kita lakukan justru bisa mendatangkan dosa.
“Apabila seorang hakim menghukumi suatu masalah lalu dia berijtihad kemudian dia benar, maka dia mendapat dua pahala. Apabila dia menghukumi suatu masalah lalu berijtihad dan dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala.”[HR. Muslim : 1716 dari Amer bin Al-Ash].
Begitupun saat kita menuntut ilmu dari ustadz yang beredar di berbagai media. Ketika terjadi perbedaan pendapat sebaiknya kita bersikap lebih bijak dengan mengambil hal baik darinya dan juga membuang keburukannya. Tidak sepatutnya kita membuka aib orang lain, justru sebaiknya mengangkat kebaikan yang disampaikannya.
Ketika kita menuntut ilmu kita tidak hanya dituntut untuk fokus mengenai bagaimana cara mendapatkannya, tapi juga harus mempelajari mengenai bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat. Bahkan saking pentingnya akhlak menyikapi perbedaan pendapat, Imam Ash-Shan’ani sampai menyusun kitab Subulus Salam.
Ketika tidak mempelajari hal ini, maka secara tidak disadari sebenarnya kita telah melakukan kezaliman kepada saudara kita saat terjadi perbedaan pendapat. Seringkali perpecahan di kalangan umat islam terjadi bukan karena perbedaan pandangannya, melainkan karena sikap atau akhlak dari siapa yang menyampaikannya.
Selain itu, dalam menghadapi era informasi saat ini sebaiknya kita bijak dalam memilah informasi-informasi yang masuk. Hindari informasi yang isinya provokatif. Karena tidak sedikit orang yang memanfaatkan peluang ini untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Entah itu berupa materi ataupun menanamkan doktrin yang buruk. Ada beberapa pihak yang mengatasnamakan islam dan menggunakan dalil dari Al Quran & hadis namun isinya malah menjatuhkan islam itu sendiri.
Sebaiknya kita tidak mudah menerima dan menyebarkan informasi sebelum memverifikasi kebenarannya. Karena setiap apa yang kita lakukan dan sampaikan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Hal lainnya yang tidak kalah penting adalah mengenai cara menyampaikan pendapat dengan baik. Kebenaran akan mudah diterima orang lain jika disajikan dengan akhlak yang terpuji. Karena Rasulullah pun ketika berdakwah disertai dengan ahklak yang mulia, tidak dengan kekerasan ataupun cacian.
Kalau diibaratkan makanan, ketika disajikan dan diberikan dengan cara yang baik maka makanan yang lezat akan terasa kelezatannya. Namun jika kemasannya buruk dan tidak diberikan dengan adab yang baik tentu kita tidak mau memakannya sekalipun makanan tersebut rasanya lezat.
Demikian penjelasan singkat mengenai bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat. Semoga dengan adanya perbedaan di kalangan masyarakat tidak memecahkan umat melainkan bisa saling melengkapi dan memperkaya khazanah. Silahkan share jika tulisan ini bermanfaat. Terima kasih.
Baca juga: Fiqih Bertetangga : Hak – Hak Tetangga
(Diedit oleh Nizar Tegar)
Adanya perbedaan pendapat wajar terjadi, yang lebih penting adalah cara menyikapinya.
Perbedaan pendapat merupakan hal yang sangat lumrah terjadi. Bahkan di kalangan para sahabat dan ulama sekalipun tidak jarang terjadi perbedaan pendapat. Namun hal ini tidak membuat mereka saling berselisih dan membenci. Sehingga tidak heran jika banyak ulama yang menganjurkan kita untuk mempelajari tentang bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat.
Mau bukti? yuk kita lihat bagaimana sahabat memberikan contoh ketika menyikapi perbedaan pandangan.
Pada suatu ketika di waktu musim haji, Usman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Umar menjalankan ibadah haji bersama. Usman selaku imam shalat dzuhur dan ashar ketika itu menjamak shalat dzuhur dan ashar masing – masing empat rakaat. Padahal Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Umar memiliki pandangan dan kebiasaan yang berbeda, yaitu meng-qashar dzuhur dan ashar dua rakaat ketika sampai di Mina.
Meski begitu kedua sahabat ini tetap mengikuti tindakan Usman bin Affan saat itu. Ketika ditanya kenapa mengikuti Usman melaksanakan shalat dzuhur empat rakaat, lantas Abdullah bin Mas’ud menjawab “Al-Khilafun Sarrun”, artinya perbedaan itu buruk.
Dari sini kita bisa belajar bahwa perbedaan itu adalah hal yang wajar. Selama perbedaan itu masih dalam batasan masalah cabang (furu) dan bukan permasalahan mendasar (ushul), maka seharusnya bisa ditolerir. Selain itu, kejadian tersebut menunjukan bahwa, semakin luas ilmu agama seseorang maka ia akan semakin bijak dalam menyikapi perbedaan, bukannya malah memperuncing masalah. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka akan jauhlah dia dari tindakan membid’ahkan, mencela, atau mencaci orang lain ketika terjadi perbedaan.
Ada contoh lain yang bisa kita petik hikmahnya dari perbedaan pendapat di kalangan ulama. Misalnya apa yang telah dicontohkan oleh imam Syafii.
Sebagaimana yang sebagian besar kita ketahui bahwa Imam Syafii memandang qunut sebagai sesuatu hal yang disunahkan. Namun ketika diberi kesempatan untuk menjadi imam shalat subuh di kalangan murid-murid Abu Hanifah, beliau tidak melaksanakan qunut. Hal ini semata-mata dilakukan karena adab lebih utama ketimbang perbedaan dalam hal fiqih yang ijtihadi.
Kejadian di atas memberikan hikmah bahwa menghargai perbedaan lebih utama dibandingkan memaksakan pendapat. Berbeda pendapat boleh-boleh saja, namun jangan sampai mencaci, menghina, apalagi membid’ahkan orang lain. Selama diambil dari dalil yang shahih seharusnya tidak menjadi masalah. Jangan sampai permasalahan cabang (furu) malah memecahkan persatuan di kalangan umat islam. Naudzubillah Min Dzalik
Ada pemahaman yang harus ditanamkan ketika menyikapi perbedaan di kalangan para ulama, yaitu tidak ada seorangpun manusia di bumi ini yang bebas dari dosa (maksum) kecuali nabi dan rasul. Sehingga sangat wajar jika ulama juga memiliki kesalahan yang mungkin dilakukan. Namun tentunya kesalahan para ulama sangat berbeda dengan kesalahan yang biasa dilakukan oleh kita selaku masyarakat pada umumnya.
Kesalahan yang dilakukan oleh ulama yang telah mencapai taraf mujtahid masih bernilai pahala sebesar satu, sedangkan jika benar bernilai pahala dua. Berbeda halnya dengan kesalahan yang kita lakukan justru bisa mendatangkan dosa.
“Apabila seorang hakim menghukumi suatu masalah lalu dia berijtihad kemudian dia benar, maka dia mendapat dua pahala. Apabila dia menghukumi suatu masalah lalu berijtihad dan dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala.”[HR. Muslim : 1716 dari Amer bin Al-Ash].
Begitupun saat kita menuntut ilmu dari ustadz yang beredar di berbagai media. Ketika terjadi perbedaan pendapat sebaiknya kita bersikap lebih bijak dengan mengambil hal baik darinya dan juga membuang keburukannya. Tidak sepatutnya kita membuka aib orang lain, justru sebaiknya mengangkat kebaikan yang disampaikannya.
Ketika kita menuntut ilmu kita tidak hanya dituntut untuk fokus mengenai bagaimana cara mendapatkannya, tapi juga harus mempelajari mengenai bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat. Bahkan saking pentingnya akhlak menyikapi perbedaan pendapat, Imam Ash-Shan’ani sampai menyusun kitab Subulus Salam.
Ketika tidak mempelajari hal ini, maka secara tidak disadari sebenarnya kita telah melakukan kezaliman kepada saudara kita saat terjadi perbedaan pendapat. Seringkali perpecahan di kalangan umat islam terjadi bukan karena perbedaan pandangannya, melainkan karena sikap atau akhlak dari siapa yang menyampaikannya.
Selain itu, dalam menghadapi era informasi saat ini sebaiknya kita bijak dalam memilah informasi-informasi yang masuk. Hindari informasi yang isinya provokatif. Karena tidak sedikit orang yang memanfaatkan peluang ini untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Entah itu berupa materi ataupun menanamkan doktrin yang buruk. Ada beberapa pihak yang mengatasnamakan islam dan menggunakan dalil dari Al Quran & hadis namun isinya malah menjatuhkan islam itu sendiri.
Sebaiknya kita tidak mudah menerima dan menyebarkan informasi sebelum memverifikasi kebenarannya. Karena setiap apa yang kita lakukan dan sampaikan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Hal lainnya yang tidak kalah penting adalah mengenai cara menyampaikan pendapat dengan baik. Kebenaran akan mudah diterima orang lain jika disajikan dengan akhlak yang terpuji. Karena Rasulullah pun ketika berdakwah disertai dengan ahklak yang mulia, tidak dengan kekerasan ataupun cacian.
Kalau diibaratkan makanan, ketika disajikan dan diberikan dengan cara yang baik maka makanan yang lezat akan terasa kelezatannya. Namun jika kemasannya buruk dan tidak diberikan dengan adab yang baik tentu kita tidak mau memakannya sekalipun makanan tersebut rasanya lezat.
Demikian penjelasan singkat mengenai bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat. Semoga dengan adanya perbedaan di kalangan masyarakat tidak memecahkan umat melainkan bisa saling melengkapi dan memperkaya khazanah. Silahkan share jika tulisan ini bermanfaat. Terima kasih.
Baca juga: Fiqih Bertetangga : Hak – Hak Tetangga
(Diedit oleh Nizar Tegar)