Sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah SWT. dan hari akhir, kita dituntut untuk memuliakan tamu (silahkan kunjungi pula Keutamaan memuliakan Tamu), sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Tidak hanya tuan rumah, pihak yang bertamu pun memiliki adab bertamu yang harus dijalankan, sehingga penerima tamu tidak merasa keberatan untuk dikunjungi, bahkan mungkin merasa senang ketika dikunjungi. Berikut beberapa adab bertamu yang dicontohkan Rasulullah SAW.:
Seorang tamu wajib meminta ijin dan mengucapkan salam tatkala hendak bertamu ke rumah tetangga. Meminta ijin disyariatkan untuk memelihara pandangan. Dalam hadits shahih dituturkan bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
“Sesungguhnya dijadikannya ijin itu untuk menjaga pandangan.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Allah SWT. memerintahkan para tamu untuk meminta ijin kepada tuan rumah, tatkala ia hendak masuk ke dalam rumah. Allah SWT. berfirman:
Sebab turunnya ayat ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam al-Thabariy sebagai berikut; dari ‘Adiy bin Tsabit diceritakan, ada seorang wanita dari kaum Anshar bertanya kepada Rasulullah SAW.:
“Ya Rasulullah, saya tinggal di dalam rumah, dan dalam kondisi tertentu aku berada dalam suatu keadaan yang aku tidak suka seorangpun, baik orang tuaku, anakku melihatku dalam keadaan tersebut. Lalu, datanglah ayahku dan masuk ke dalam rumahku. Sesungguhnya, seorang laki-laki dari keluargaku selalu masuk ke dalam rumahku, sedangkan saya sedang berada dalam keadaan tersebut (dimana perempuan ini tidak suka dilihat oleh seorangpun). Lantas, apa yang harus aku perbuat?”, Lalu turunlah ayat ini (surat al-Nur:27). (HR. Imam Thabariy dari ‘Adiy bin Tsabit)
Menurut Imam Qurthubiy, sebab turunnya surat An-Nur: 28, adalah pertanyaan Abu Bakar kepada Rasulullah SAW. tentang rumah-rumah tak berpenghuni yang ada di pinggir jalan-jalan wilayah Syam. Abu Bakar bertanya, “Ya Rasulullah, apa pendapat anda tentang kedai-kedai dan rumah-rumah yang tak berpenghuni di jalan-jalan Syam.” Lalu, turunlah surat al-Nur (24) ayat 28.
Imam Qurthubiy menjelaskan bahwasanya Allah SWT. memuliakan dan mengagungkan anak-anak Adam dengan rumah-rumah, di mana dengan rumah-rumah itu manusia terjaga atau terlindung dari pandangan orang luar. Dengan rumah juga, mereka bisa menikmati kehidupan pribadi, mencegah orang lain untuk melihat apa-apa yang ada di dalam rumah, atau mencegah masuknya orang-orang tanpa ijin dari pemiliknya. Selain itu, Allah SWT. juga menetapkan sejumlah hukum yang bisa menutup aurat mereka agar tidak diintip oleh orang lain dari luar. [lmam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy] Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasanya Abu Hurairah meriwayatkan sebuah riwayat dari Nabi SAW., bahwa Beliau bersabda:
Barangsiapa mengintip (melihat) rumah seseorang tanpa ijin pemiliknya, maka pemilik rumah halal menusuk matanya. (HR. Imam Muslim).
Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan hadits riwayat Muslim di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa makna yang dikehendaki oleh hadits di atas bukanlah makna dzahir, akan tetapi makna kinayah (kiasan). Sebab, makna yang terkandung di dalam hadits
ini bertentangan dengan Al-Qur’an, yakni firman Allah SWT., artinya, “Dan jika kami memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (TQS. al-Nahl [16] : 126). Ayat ini menjelaskan, bahwa setiap pelukaan dikenai balasan (qishash). Siapa saja yang menusuk mata seseorang, maka ia harus ditusuk balik, atau membayar diyat. Atas dasar itu, mereka menyatakan bahwa yang dimaksud Rasulullah SAW. dengan “menusuk matanya”, bukanlah “menusuk mata” secara dzahir, akan tetapi melakukan sesuatu yang lain, hingga para pengintip tidak bisa mengintip lagi rumahnya, bukan dengan menusuk matanya. Sebab, kadang-kadang Rasulullah SAW. menyatakan sesuatu, padahal yang dimaksud bukan makna akhirnya, tetapi makna majaznya. Sedangkan ulama lain mengambil makna dzahirnya. Dengan kata lain, seseorang boleh menusuk mata orang yang mengintip rumahnya. Ia juga tidak akan dikenai qishash maupun diyat atas perbuatannya. Pendapat terakhir ini dipegang oleh Imam Qurthubiy.
Pada saat menafsirkan ayat di atas (Surat al-Nur [24] : 27-28), Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Ayat ini adalah adab syariah yang diperintahkan Allah kepada hamba-hambanya yang Mukmin, agar mereka meminta ijin. Allah SWT. memerintahkan mereka untuk tidak memasuki rumah yang bukan rumahnya, hingga mereka meminta ijin -sebelum masuk-, kemudian mengucapkan salam setelah masuk. Hendaknya ia meminta ijin sebanyak 3 kali, jika diizinkan ia boleh masuk, jika tidak maka ia harus kembali.” (Imam lbnu Katsir, Tafsir lbnu Katsir, surat al-Nur: 27) Keterangan Beliau ini disandarkan pada sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dan Abu S’id al-Khudriy bahwa ia berkata:
Imam Ahmad menuturkan sebuah riwayat dari Tsabit dari Anas:
Setiap orang yang hendak bertamu ke rumah orang lain, wajib meminta ijin dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Jika Penghuni rumah tidak memberinya ijin, ia wajib pulang kembali, setelah tiga kali mengucapkan salam. Pendapat semacam ini sudah maklum dan masyhur di kalangan ulama fiqih. Ibnu Katsir berpendapat bahwa seorang tamu disunnahkan untuk mengucapkan salam sebanyak tiga kali, dan boleh mengucapkan lebih dari tiga kali jika ia menduga kuat bahwa pemilik rumah tidak mendengarkan suaranya.
Baca juga: Adab Bertetangga: Cara Memuliakan Tetangga
Meminta ijin dilakukan sebelum mengucapkan salam. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshariy, ia berkata:
Mujahid berkata:
(Meminta ijin kepada tuan rumah bisa dilakukan) dengan berdehem, atau dengan cara lain yang memungkinkan (Lihat Imam qurthubiy dalam Tafsir Qurthubi, surat An Nur (24):27-28)
Imam lbnu Katsir menuturkan sebuah riwayat yang menjelaskan bagaimana cara seorang tamu meminta ijin kepada tuan rumah. Imam Abu Dawud meriwayatkan, bahwasanya ada seorang laki-laki dari Bani ‘Amir meminta ijin untuk masuk ke rumah Rasulullah SAW., sedangkan Beliau SAW. saat itu sedang berada di dalam rumah. Laki-laki itu berkata:
“Boleh saya masuk?” Rasulullah SAW. berkata kepada pembantunya, “Keluarlah dan temui orang itu, dan ajarilah cara meminta ijin.” Pembantu itu berkata kepada laki-laki tersebut, “Ucapakanlah: “Assalamu’alaikum, boleh saya masuk?”. Laki-laki itu mendengarkan, lantas berkata, “Assalamu’alaikum, boleh saya masuk? Nabi SAW. mengijinkannya, dan masuklah laki-laki itu.” (HR. Imam Abu Dawud).
Dari Kaladah bin al-Hanbal ra diriwayatkan, bahwasanya ia pernah bertamu ke rumah Nabi SAW., dan langsung masuk tanpa mengucapkan salam. Nabi pun bersabda:
Kembalilah, dan ucapkanlah, “Assalamu’alaikum, bolehkah saya masuk?” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidziy).
Jika seorang tamu telah bertemu dan bertatap muka dengan pemilik rumah, bukan berarti ia tidak harus meminta ijin dan mengucapkan salam. Sebab, tatapan pandangan bukanlah ijin dari pemilik rumah. Seorang tamu wajib tetap meminta ijin dengan mengucapkan, “Bolehkah saya masuk ke dalam rumah anda” (Imam Qurthubi, Tafsir Qurthubiy, Juz 12/218. Maktabah Syamilah). Dalam riwayat Bukhari dituturkan, bahwanya Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW. bersabda :
Jika pandangan telah masuk, maka tidak ada ijin (HR. Imam Bukhari, dalam Al-AI-Adab al-Mufrad)
Dari seluruh keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang tamu wajib meminta ijin, dan mengucapkan salam kepada pemilik rumah. Jika pemilik rumah tidak mengijinkannya, dan ia sudah mengucapkan salam tiga kali berturut-turut, maka ia harus kembali, dan dilarang duduk menunggu di depan pintunya. Seorang tamu boleh mengucapkan salam lebih dari tiga kali, jika ia yakin bahwa pemilik rumah tidak mendengar salamnya. Selain dalam kondisi semacam ini, seorang tamu harus kembali jika ia telah mengucapkan salam sebanyak tiga kali.
Jika seorang tamu ditanya oleh pemilik rumah, “Siapa ya?”, maka ia hendaknya tidak menjawab dengan “Saya”, akan tetapi dijawab dengan nama terang. Dalam shahihain diriwayatkan, bahwa Jabir bin ‘Abdullah berkata:
Saya meminta ijin untuk bertamu ke rumah Rasulullah SAW. Beliau bertanya dari dalam rumah, “Siapa itu?”. Saya menjawab, “Saya.” Rasulullah SAW. menjawab, “Saya! Saya!” (seakan-akan Beliau membenci jawaban itu) (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Imam Qurthubiy berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW. membenci hal itu, dikarenakan jawaban semacam itu tidak mudah dikenal oleh pemilik rumah. Dari hadits ini bisa disimpulkan bahwa seorang tamu hendaknya menyebut namanya dengan jelas, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin al-Khaththab dan Abu Musa ra.”
Imam Qurthubiy menuturkan sebuah riwayat dari ‘Umar bin al-Khaththab ra, bahwasanya Umar pernah bertamu ke rumah Rasulullah SAW., sedangkan Beliau sedang berada di ruang minum. Umar berkata:
Assalmu’alaika ya Rasuluilah, Assalimu’alaikum, boleh Umar masuk? (Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, Juz 12/217. Maktabah Syamilah)
Dalam shahih Muslim dinyatakan bahwa Abu musa bertamu ke rumah Umar dan berkata:
Assalamu’aikum, ini Abu Musa, Assalmu’alaikum, ini al-Asy’ariy….(HR. Imam Muslim).
Seseorang yang bertamu di rumah tetangga dekat maupun jauh, sebaiknya berdiri di sisi samping kanan atau kiri pintu tetangganya. Rasulullah SAW. ketika bertamu di rumah seseorang, Beliau tidak pernah berdiri di tengah-tengah pintu, akan tetapi berdiri di samping kanan atau di samping kiri pilar pintu, kemudian berkata, “Assalamu’alaikum.” Imam Abu Dawud menuturkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Busr:
Abdullah bin Busr, seorang shahabat Rasulullah SAW. berkata
Nabi SAW. jika mendatangi pintu dan akan meminta ijin, Beliau tidak menghadap pintu (berada di tengah pintu), akan tetapi Beliau berada di sebelah kanan atau kiri. Jika diijinkan Beliau masuk. Jika tidak Beliau kembali (HR. Imam Bukhari dalam Al-Al-Adab al-Munfrad).
Berdiri di sebelah kanan atau kiri pintu, lebih bisa menjaga pandangan. Sebab, jika tamu berdiri di depan pintu, ia bisa melihat langsung tuan rumah yang sedang berada dalam kondisi membuka aurat, atau melakukan sesuatu yang ia tidak senang jika terlihat oleh orang lain. Jika tamu mengetuk pintu, sedangkan pintu dalam keadaan tidak tertutup, maka pandangannya tidak akan terjaga dari sesuatu yang tidak disukai tuan rumah.
Jika seseorang meminta ijin kepada tuan rumah, kemudian tuan rumah menjawab, “Tunggu sebentar, hingga saya keluar”, maka Iebih baik ia duduk menunggu di tempat yang telah disediakan, atau berada di sisi pintu. Mu’awiyyah ibn Hudaij berkata:
Saya pemah menemui umar bin Khaththab ra, lantas meminta ijin kepadanya. Orang-orang lalu berkata, “Duduklah di tempatmu sampai dia keluar menemuimu.” Maka aku duduk di dekat pintunya. Lalu Umar ra keluar menemuiku,” (HR. Imam Bukhari dalam Al-Al-Adab al-Mufrad).
Jika tamu mengetuk pintu rumah tetangganya, hendaknya tidak dilakukan dengan keras, akan tetapi dengan ketukan lembut, tidak keras atau terlalu pelan. Yang penting pemilik rumah mendengarkan ketukan tersebut. Anas bin Malik berkata:
Pintu-pintu Nabi SAW. bisa diketuk dengan kuku-kuku jari saja (HR. Imam Bukhari dalam Al-Al-Adab al-Mufrad. Hadits ini dikisahkan oleh Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit al-Khathib, dalam Jami’nya).
Ketukan kasar dan terlalu keras, tentunya akan mengganggu tuan rumah. Lebih-lebih lagi saat itu tuan rumah tengah istirahat, atau sedang mengerjakan shalat, atau sedang dalam keadaan letih dan lelah. Bisa dibayangkan, betapa kesalnya tuan rumah bila ia mendapati pintu rumahnya digedor dengan keras.
Seorang tamu tidak boleh mengintip ke dalam rumah orang lain.la harus tetap menunggu di luar pintu, dan tidak boleh mengintip ke dalam rumah, baik sekedar melihat ataupun untuk mencari pemilik rumah.
Dalam hadits shahih dinyatakan, Anas bin Malik berkata:
Ada seorang Badui pergi ke rumah Rasulullah SAW..Dia lalu mengintip pada celah-celah pintu. Beliau SAW. mengambil busur anak panah, atau setaring kayu yang tajam dan mengarahkannya pada orang Badui itu untuk mencongkel matanya, agar dia pergi. Beliau lantas bersabda, “Kalau sekiranya engkau tetap diam akan kucongkel matamu” (HR.Imam Bukhari dalam Al-Al-Adab al-Mufrad).
Umar bin Khaththab pernah berkata:
Siapa saja yang melihat ke dalam rumah, sebelum diijinkan, maka dia telah berbuat fasiq (HR.Imam Bukhari).
Sebagian besar ‘ulama memahami hadits ini secara dzahir. Artinya, jika seseorang mengintip rumah orang lain, maka pemilik rumah berhak menusuk atau mencongkel matanya, dan ia tidak dikenai qishash atas perbuatannya.
Baca juga: Penting Banget! Pilihlah Tetangga Yang Baik Sebelum Membeli Rumah
Daftar Pustaka
Syamsuddin Ramadlan an-Nawiy, Fathiy (2018). Fiqih Bertetangga. Bogor: Al Azhar Fresh Zone Publishing.
Sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah SWT. dan hari akhir, kita dituntut untuk memuliakan tamu (silahkan kunjungi pula Keutamaan memuliakan Tamu), sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Tidak hanya tuan rumah, pihak yang bertamu pun memiliki adab bertamu yang harus dijalankan, sehingga penerima tamu tidak merasa keberatan untuk dikunjungi, bahkan mungkin merasa senang ketika dikunjungi. Berikut beberapa adab bertamu yang dicontohkan Rasulullah SAW.:
Seorang tamu wajib meminta ijin dan mengucapkan salam tatkala hendak bertamu ke rumah tetangga. Meminta ijin disyariatkan untuk memelihara pandangan. Dalam hadits shahih dituturkan bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
“Sesungguhnya dijadikannya ijin itu untuk menjaga pandangan.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Allah SWT. memerintahkan para tamu untuk meminta ijin kepada tuan rumah, tatkala ia hendak masuk ke dalam rumah. Allah SWT. berfirman:
Sebab turunnya ayat ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam al-Thabariy sebagai berikut; dari ‘Adiy bin Tsabit diceritakan, ada seorang wanita dari kaum Anshar bertanya kepada Rasulullah SAW.:
“Ya Rasulullah, saya tinggal di dalam rumah, dan dalam kondisi tertentu aku berada dalam suatu keadaan yang aku tidak suka seorangpun, baik orang tuaku, anakku melihatku dalam keadaan tersebut. Lalu, datanglah ayahku dan masuk ke dalam rumahku. Sesungguhnya, seorang laki-laki dari keluargaku selalu masuk ke dalam rumahku, sedangkan saya sedang berada dalam keadaan tersebut (dimana perempuan ini tidak suka dilihat oleh seorangpun). Lantas, apa yang harus aku perbuat?”, Lalu turunlah ayat ini (surat al-Nur:27). (HR. Imam Thabariy dari ‘Adiy bin Tsabit)
Menurut Imam Qurthubiy, sebab turunnya surat An-Nur: 28, adalah pertanyaan Abu Bakar kepada Rasulullah SAW. tentang rumah-rumah tak berpenghuni yang ada di pinggir jalan-jalan wilayah Syam. Abu Bakar bertanya, “Ya Rasulullah, apa pendapat anda tentang kedai-kedai dan rumah-rumah yang tak berpenghuni di jalan-jalan Syam.” Lalu, turunlah surat al-Nur (24) ayat 28.
Imam Qurthubiy menjelaskan bahwasanya Allah SWT. memuliakan dan mengagungkan anak-anak Adam dengan rumah-rumah, di mana dengan rumah-rumah itu manusia terjaga atau terlindung dari pandangan orang luar. Dengan rumah juga, mereka bisa menikmati kehidupan pribadi, mencegah orang lain untuk melihat apa-apa yang ada di dalam rumah, atau mencegah masuknya orang-orang tanpa ijin dari pemiliknya. Selain itu, Allah SWT. juga menetapkan sejumlah hukum yang bisa menutup aurat mereka agar tidak diintip oleh orang lain dari luar. [lmam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy] Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasanya Abu Hurairah meriwayatkan sebuah riwayat dari Nabi SAW., bahwa Beliau bersabda:
Barangsiapa mengintip (melihat) rumah seseorang tanpa ijin pemiliknya, maka pemilik rumah halal menusuk matanya. (HR. Imam Muslim).
Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan hadits riwayat Muslim di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa makna yang dikehendaki oleh hadits di atas bukanlah makna dzahir, akan tetapi makna kinayah (kiasan). Sebab, makna yang terkandung di dalam hadits
ini bertentangan dengan Al-Qur’an, yakni firman Allah SWT., artinya, “Dan jika kami memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (TQS. al-Nahl [16] : 126). Ayat ini menjelaskan, bahwa setiap pelukaan dikenai balasan (qishash). Siapa saja yang menusuk mata seseorang, maka ia harus ditusuk balik, atau membayar diyat. Atas dasar itu, mereka menyatakan bahwa yang dimaksud Rasulullah SAW. dengan “menusuk matanya”, bukanlah “menusuk mata” secara dzahir, akan tetapi melakukan sesuatu yang lain, hingga para pengintip tidak bisa mengintip lagi rumahnya, bukan dengan menusuk matanya. Sebab, kadang-kadang Rasulullah SAW. menyatakan sesuatu, padahal yang dimaksud bukan makna akhirnya, tetapi makna majaznya. Sedangkan ulama lain mengambil makna dzahirnya. Dengan kata lain, seseorang boleh menusuk mata orang yang mengintip rumahnya. Ia juga tidak akan dikenai qishash maupun diyat atas perbuatannya. Pendapat terakhir ini dipegang oleh Imam Qurthubiy.
Pada saat menafsirkan ayat di atas (Surat al-Nur [24] : 27-28), Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Ayat ini adalah adab syariah yang diperintahkan Allah kepada hamba-hambanya yang Mukmin, agar mereka meminta ijin. Allah SWT. memerintahkan mereka untuk tidak memasuki rumah yang bukan rumahnya, hingga mereka meminta ijin -sebelum masuk-, kemudian mengucapkan salam setelah masuk. Hendaknya ia meminta ijin sebanyak 3 kali, jika diizinkan ia boleh masuk, jika tidak maka ia harus kembali.” (Imam lbnu Katsir, Tafsir lbnu Katsir, surat al-Nur: 27) Keterangan Beliau ini disandarkan pada sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dan Abu S’id al-Khudriy bahwa ia berkata:
Imam Ahmad menuturkan sebuah riwayat dari Tsabit dari Anas:
Setiap orang yang hendak bertamu ke rumah orang lain, wajib meminta ijin dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Jika Penghuni rumah tidak memberinya ijin, ia wajib pulang kembali, setelah tiga kali mengucapkan salam. Pendapat semacam ini sudah maklum dan masyhur di kalangan ulama fiqih. Ibnu Katsir berpendapat bahwa seorang tamu disunnahkan untuk mengucapkan salam sebanyak tiga kali, dan boleh mengucapkan lebih dari tiga kali jika ia menduga kuat bahwa pemilik rumah tidak mendengarkan suaranya.
Baca juga: Adab Bertetangga: Cara Memuliakan Tetangga
Meminta ijin dilakukan sebelum mengucapkan salam. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshariy, ia berkata:
Mujahid berkata:
(Meminta ijin kepada tuan rumah bisa dilakukan) dengan berdehem, atau dengan cara lain yang memungkinkan (Lihat Imam qurthubiy dalam Tafsir Qurthubi, surat An Nur (24):27-28)
Imam lbnu Katsir menuturkan sebuah riwayat yang menjelaskan bagaimana cara seorang tamu meminta ijin kepada tuan rumah. Imam Abu Dawud meriwayatkan, bahwasanya ada seorang laki-laki dari Bani ‘Amir meminta ijin untuk masuk ke rumah Rasulullah SAW., sedangkan Beliau SAW. saat itu sedang berada di dalam rumah. Laki-laki itu berkata:
“Boleh saya masuk?” Rasulullah SAW. berkata kepada pembantunya, “Keluarlah dan temui orang itu, dan ajarilah cara meminta ijin.” Pembantu itu berkata kepada laki-laki tersebut, “Ucapakanlah: “Assalamu’alaikum, boleh saya masuk?”. Laki-laki itu mendengarkan, lantas berkata, “Assalamu’alaikum, boleh saya masuk? Nabi SAW. mengijinkannya, dan masuklah laki-laki itu.” (HR. Imam Abu Dawud).
Dari Kaladah bin al-Hanbal ra diriwayatkan, bahwasanya ia pernah bertamu ke rumah Nabi SAW., dan langsung masuk tanpa mengucapkan salam. Nabi pun bersabda:
Kembalilah, dan ucapkanlah, “Assalamu’alaikum, bolehkah saya masuk?” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidziy).
Jika seorang tamu telah bertemu dan bertatap muka dengan pemilik rumah, bukan berarti ia tidak harus meminta ijin dan mengucapkan salam. Sebab, tatapan pandangan bukanlah ijin dari pemilik rumah. Seorang tamu wajib tetap meminta ijin dengan mengucapkan, “Bolehkah saya masuk ke dalam rumah anda” (Imam Qurthubi, Tafsir Qurthubiy, Juz 12/218. Maktabah Syamilah). Dalam riwayat Bukhari dituturkan, bahwanya Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW. bersabda :
Jika pandangan telah masuk, maka tidak ada ijin (HR. Imam Bukhari, dalam Al-AI-Adab al-Mufrad)
Dari seluruh keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang tamu wajib meminta ijin, dan mengucapkan salam kepada pemilik rumah. Jika pemilik rumah tidak mengijinkannya, dan ia sudah mengucapkan salam tiga kali berturut-turut, maka ia harus kembali, dan dilarang duduk menunggu di depan pintunya. Seorang tamu boleh mengucapkan salam lebih dari tiga kali, jika ia yakin bahwa pemilik rumah tidak mendengar salamnya. Selain dalam kondisi semacam ini, seorang tamu harus kembali jika ia telah mengucapkan salam sebanyak tiga kali.
Jika seorang tamu ditanya oleh pemilik rumah, “Siapa ya?”, maka ia hendaknya tidak menjawab dengan “Saya”, akan tetapi dijawab dengan nama terang. Dalam shahihain diriwayatkan, bahwa Jabir bin ‘Abdullah berkata:
Saya meminta ijin untuk bertamu ke rumah Rasulullah SAW. Beliau bertanya dari dalam rumah, “Siapa itu?”. Saya menjawab, “Saya.” Rasulullah SAW. menjawab, “Saya! Saya!” (seakan-akan Beliau membenci jawaban itu) (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Imam Qurthubiy berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW. membenci hal itu, dikarenakan jawaban semacam itu tidak mudah dikenal oleh pemilik rumah. Dari hadits ini bisa disimpulkan bahwa seorang tamu hendaknya menyebut namanya dengan jelas, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin al-Khaththab dan Abu Musa ra.”
Imam Qurthubiy menuturkan sebuah riwayat dari ‘Umar bin al-Khaththab ra, bahwasanya Umar pernah bertamu ke rumah Rasulullah SAW., sedangkan Beliau sedang berada di ruang minum. Umar berkata:
Assalmu’alaika ya Rasuluilah, Assalimu’alaikum, boleh Umar masuk? (Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, Juz 12/217. Maktabah Syamilah)
Dalam shahih Muslim dinyatakan bahwa Abu musa bertamu ke rumah Umar dan berkata:
Assalamu’aikum, ini Abu Musa, Assalmu’alaikum, ini al-Asy’ariy….(HR. Imam Muslim).
Seseorang yang bertamu di rumah tetangga dekat maupun jauh, sebaiknya berdiri di sisi samping kanan atau kiri pintu tetangganya. Rasulullah SAW. ketika bertamu di rumah seseorang, Beliau tidak pernah berdiri di tengah-tengah pintu, akan tetapi berdiri di samping kanan atau di samping kiri pilar pintu, kemudian berkata, “Assalamu’alaikum.” Imam Abu Dawud menuturkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Busr:
Abdullah bin Busr, seorang shahabat Rasulullah SAW. berkata
Nabi SAW. jika mendatangi pintu dan akan meminta ijin, Beliau tidak menghadap pintu (berada di tengah pintu), akan tetapi Beliau berada di sebelah kanan atau kiri. Jika diijinkan Beliau masuk. Jika tidak Beliau kembali (HR. Imam Bukhari dalam Al-Al-Adab al-Munfrad).
Berdiri di sebelah kanan atau kiri pintu, lebih bisa menjaga pandangan. Sebab, jika tamu berdiri di depan pintu, ia bisa melihat langsung tuan rumah yang sedang berada dalam kondisi membuka aurat, atau melakukan sesuatu yang ia tidak senang jika terlihat oleh orang lain. Jika tamu mengetuk pintu, sedangkan pintu dalam keadaan tidak tertutup, maka pandangannya tidak akan terjaga dari sesuatu yang tidak disukai tuan rumah.
Jika seseorang meminta ijin kepada tuan rumah, kemudian tuan rumah menjawab, “Tunggu sebentar, hingga saya keluar”, maka Iebih baik ia duduk menunggu di tempat yang telah disediakan, atau berada di sisi pintu. Mu’awiyyah ibn Hudaij berkata:
Saya pemah menemui umar bin Khaththab ra, lantas meminta ijin kepadanya. Orang-orang lalu berkata, “Duduklah di tempatmu sampai dia keluar menemuimu.” Maka aku duduk di dekat pintunya. Lalu Umar ra keluar menemuiku,” (HR. Imam Bukhari dalam Al-Al-Adab al-Mufrad).
Jika tamu mengetuk pintu rumah tetangganya, hendaknya tidak dilakukan dengan keras, akan tetapi dengan ketukan lembut, tidak keras atau terlalu pelan. Yang penting pemilik rumah mendengarkan ketukan tersebut. Anas bin Malik berkata:
Pintu-pintu Nabi SAW. bisa diketuk dengan kuku-kuku jari saja (HR. Imam Bukhari dalam Al-Al-Adab al-Mufrad. Hadits ini dikisahkan oleh Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit al-Khathib, dalam Jami’nya).
Ketukan kasar dan terlalu keras, tentunya akan mengganggu tuan rumah. Lebih-lebih lagi saat itu tuan rumah tengah istirahat, atau sedang mengerjakan shalat, atau sedang dalam keadaan letih dan lelah. Bisa dibayangkan, betapa kesalnya tuan rumah bila ia mendapati pintu rumahnya digedor dengan keras.
Seorang tamu tidak boleh mengintip ke dalam rumah orang lain.la harus tetap menunggu di luar pintu, dan tidak boleh mengintip ke dalam rumah, baik sekedar melihat ataupun untuk mencari pemilik rumah.
Dalam hadits shahih dinyatakan, Anas bin Malik berkata:
Ada seorang Badui pergi ke rumah Rasulullah SAW..Dia lalu mengintip pada celah-celah pintu. Beliau SAW. mengambil busur anak panah, atau setaring kayu yang tajam dan mengarahkannya pada orang Badui itu untuk mencongkel matanya, agar dia pergi. Beliau lantas bersabda, “Kalau sekiranya engkau tetap diam akan kucongkel matamu” (HR.Imam Bukhari dalam Al-Al-Adab al-Mufrad).
Umar bin Khaththab pernah berkata:
Siapa saja yang melihat ke dalam rumah, sebelum diijinkan, maka dia telah berbuat fasiq (HR.Imam Bukhari).
Sebagian besar ‘ulama memahami hadits ini secara dzahir. Artinya, jika seseorang mengintip rumah orang lain, maka pemilik rumah berhak menusuk atau mencongkel matanya, dan ia tidak dikenai qishash atas perbuatannya.
Baca juga: Penting Banget! Pilihlah Tetangga Yang Baik Sebelum Membeli Rumah
Daftar Pustaka
Syamsuddin Ramadlan an-Nawiy, Fathiy (2018). Fiqih Bertetangga. Bogor: Al Azhar Fresh Zone Publishing.