Perlu dipahami, meskipun seorang tamu memiliki hak-hak tertentu, bukan berarti ia boleh berbuat sekehendak hatinya di dalam rumah orang lain. Sebab, rumah adalah kehidupan khusus yang harus dijaga dan dihormati. Jika seseorang diijinkan masuk ke dalam rumah orang lain, ia harus tetap menjaga kesopanan dan memperhatikan Adab Adab Bertamu di Dalam Rumah Tetangga:
Seorang tamu harus meminta ijin kepada pemilik rumah, jika ia hendak masuk ke kamar mandi, atau ke tempat-tempat lain yang ada di dalam rumah. Jika ada hajat tertentu, ia harus meminta kepada tuan rumah untuk melayaninya. Hal ini dilakukan agar, dirinya tidak salah masuk, atau melihat wanita-wanita yang ada di dalam rumah itu yang tengah berada dalam kondisi yang mereka tidak suka atau tidak boleh dilihat oleh orang lain. Ketika ia hendak menggunakan barang-barang tuan rumah, ia harus meminta ijin terlebih dahulu kepada tuan rumah.
Seorang tamu, juga harus menjaga pandangannya, dan tidak bercakap-cakap dengan isteri pemilik rumah, atau wanita-wanita yang ada di dalam rumah. Seharusnya, isteri tuan rumah tidak ikut nimbrung di dalam percakapan, kecuali ada hajat syar’iy yang dibenarkan syariat, misalnya dipanggil suami untuk dimintai pendapat, atau untuk membantu melayani tamu, dan lain-lain. Jika kepentingannya telah tertunai, kaum wanita yang ada di dalam rumah itu, harus segera kembali ke tempat mereka masing-masing dan tidak boleh melibatkan diri dalam percakapan dan obrolan dengan tamu. Tamu-tamu tidak boleh memandang wanita-wanita yang ada di dalam rumah tersebut, kecuali pandangan fuja’ah (pandangan tiba-tiba tanpa sengaja).
Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa Abdullah ibn’Abil Hudhail berkata, bahwasanya Abdullah ibn Mas’ud mengunjungi seseorang yang sedang sakit bersama sejumlah orang. Di dalam rumah itu ada seorang wanita, lalu seorang di antara mereka memandang wanita itu. Abdullah ibn Mas’ud berkata kepada laki-laki itu:
Kalau sekiranya matamu terlepas, itu lebih baik bagimu. (HR. Imam Bukhari)
Jika seseorang mengajak isterinya bertamu, lebih baik isterinya bercakap-cakap dan mengobrol dengan isteri tuan rumah di tempat yang terpisah. Jika tidak memungkinkan, isteri tetap harus dilayani dan diajak bercakap-cakap atau mengobrol dengan isteri tuan rumah, di tempat yang sama, akan tetapi tetap terpisah dengan jarak yang cukup.
Baca juga: Penting Banget! Pilihlah Tetangga Yang Baik Sebelum Membeli Rumah
Jika seseorang hendak menginap di rumah orang lain, hendaknya ia tidak menyulitkan tuan rumah. Seorang tamu harus dilayani seandainya ia menginap selama tiga hari, selebihnya adalah sedekah bagi dirinya. Seorang tamu dilayani oleh tuan rumah selama tiga hari. Jika tamu menginap lebih dari tiga hari, tuan rumah tidak wajib untuk melayaninya. Bila tuan rumah masih melayaninya, maka ia memperoleh pahala bersedekah.
Abu Syuraih al-Adawiy berkata:
AI-Jaizah adalah al-minhah wa al-athiyah (persembahan dan pemberian).
Dari Syuraih al-Ka’biy dituturkan bahwasanya Nabi SAW. bersabda:
Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, jamuannya satu hari satu malam, dan melayani tamu itu tiga hari, dan setelah itu adalah sedekah. Tidak halal bagi tamu menginap hingga ia menyulitkannya (tuan rumah) (HR. Imam Bukhari).
Para ulama berbeda pendapat atas hukum menjamu tamu. Imam Nawawiy menyatakan bahwa menjamu tamu termasuk perkara yang sangat dianjurkan dalam Islam (muakkadat al-lslaam). Imam Syafi’iy, Abu Hanifah, dan Malik dan mayoritas ulama menyatakan bahwa menjamu tamu hukumnya sunnah, bukan wajib. Imam al-Laits dan Ahmad, hukumnya wajib pada hari pertama. Imam Ahmad menyatakan wajib menjamu tamu pada hari pertama atas tamu yang berasal dari desa dan pelosok, dan tidak wajib atas tamu dari kota (Imam Abu Zakariya An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, Juz 12/30).
Jika seseorang menginap di rumah orang lain, kemudian ia khawatir akan menyusahkan atau membuat tuan rumah “sedikit terganggu” atas kehadirannya, maka ia harus mohon pamit dan tidak boleh berlama-lama di situ. Sebab, tidak pantas rasanya seorang tamu menyusahkan tuan rumahnya, atau membuat keluarga itu menjadi terbebani.
Baca juga: Inilah 4 Akibat Ghibah Bagi Kehidupan Bertetangga
Jika seorang tamu hendak berpamitan pulang, disunnahkan untuk saling berwasiat dalam kebaikan dan mendoakan. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Abu Sulaiman Malik bin AI-Huwairits ra berkata:
Dari ‘Umar bin Khaththab ra berkata:
Dari Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar ra bila bertemu dengan orang yang akan bepergian, ia berkata:
Dari Anas ra dikisahkan, ada seseorang mendatangi Nabi SAW. dan berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya akan berpergian, oleh karena itu saya minta bekal kepada tuan. “Rasulullah SAW. bersabda, “Semoga Allah membekali anda dengan takwa.” Orang itu berkata lagi, “Tambahlah bekal itu.” Beliau bersabda, “Semoga Allah mengampuni dosamu.” Ia berkata lagi, “Tambahlah bekal itu.” Rasulullah bersabda, “Semoga Allah memudahkan kebaikan kepadamu di manapun kamu berada.” (HR. Imam Tirmidziy. Beliau mengatakan hadits hasan).
Begitulah kehidupan generasi-generasi awal Islam. Mereka saling menasehati, berwasiat tentang kebenaran, dan saling mendoakan tatkala mereka hendak berpisah. Alangkah indahnya, jika sesama Muslim saling mendoakan dalam kebaikan, saling menasehati, dan berwasiat dalam ketakwaan, lebih-lebih lagi tatkala mereka hendak berpisah, atau bepergian jauh.
Waktu perpisahan adalah waktu yang paling berkesan dan membekas di dalam hati. Jika seseorang saling mendoakan dan menasehati dalam keadaan seperti itu, tentunya doa dan nasehat tersebut akan membekas di relung jiwa. Oleh karena itu, tatkala hendak berpamitan pulang, tamu dan pemilik rumah hendaknya saling menasehati dalam kebaikan dan kebenaran, serta saling mendoakan.
Baca juga: Fiqih Bertetangga: Hutang Piutang Dengan Tetangga
Daftar Pustaka
Syamsuddin Ramadlan an-Nawiy, Fathiy (2018). Fiqih Bertetangga. Bogor: Al Azhar Fresh Zone Publishing.
Perlu dipahami, meskipun seorang tamu memiliki hak-hak tertentu, bukan berarti ia boleh berbuat sekehendak hatinya di dalam rumah orang lain. Sebab, rumah adalah kehidupan khusus yang harus dijaga dan dihormati. Jika seseorang diijinkan masuk ke dalam rumah orang lain, ia harus tetap menjaga kesopanan dan memperhatikan Adab Adab Bertamu di Dalam Rumah Tetangga:
Seorang tamu harus meminta ijin kepada pemilik rumah, jika ia hendak masuk ke kamar mandi, atau ke tempat-tempat lain yang ada di dalam rumah. Jika ada hajat tertentu, ia harus meminta kepada tuan rumah untuk melayaninya. Hal ini dilakukan agar, dirinya tidak salah masuk, atau melihat wanita-wanita yang ada di dalam rumah itu yang tengah berada dalam kondisi yang mereka tidak suka atau tidak boleh dilihat oleh orang lain. Ketika ia hendak menggunakan barang-barang tuan rumah, ia harus meminta ijin terlebih dahulu kepada tuan rumah.
Seorang tamu, juga harus menjaga pandangannya, dan tidak bercakap-cakap dengan isteri pemilik rumah, atau wanita-wanita yang ada di dalam rumah. Seharusnya, isteri tuan rumah tidak ikut nimbrung di dalam percakapan, kecuali ada hajat syar’iy yang dibenarkan syariat, misalnya dipanggil suami untuk dimintai pendapat, atau untuk membantu melayani tamu, dan lain-lain. Jika kepentingannya telah tertunai, kaum wanita yang ada di dalam rumah itu, harus segera kembali ke tempat mereka masing-masing dan tidak boleh melibatkan diri dalam percakapan dan obrolan dengan tamu. Tamu-tamu tidak boleh memandang wanita-wanita yang ada di dalam rumah tersebut, kecuali pandangan fuja’ah (pandangan tiba-tiba tanpa sengaja).
Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa Abdullah ibn’Abil Hudhail berkata, bahwasanya Abdullah ibn Mas’ud mengunjungi seseorang yang sedang sakit bersama sejumlah orang. Di dalam rumah itu ada seorang wanita, lalu seorang di antara mereka memandang wanita itu. Abdullah ibn Mas’ud berkata kepada laki-laki itu:
Kalau sekiranya matamu terlepas, itu lebih baik bagimu. (HR. Imam Bukhari)
Jika seseorang mengajak isterinya bertamu, lebih baik isterinya bercakap-cakap dan mengobrol dengan isteri tuan rumah di tempat yang terpisah. Jika tidak memungkinkan, isteri tetap harus dilayani dan diajak bercakap-cakap atau mengobrol dengan isteri tuan rumah, di tempat yang sama, akan tetapi tetap terpisah dengan jarak yang cukup.
Baca juga: Penting Banget! Pilihlah Tetangga Yang Baik Sebelum Membeli Rumah
Jika seseorang hendak menginap di rumah orang lain, hendaknya ia tidak menyulitkan tuan rumah. Seorang tamu harus dilayani seandainya ia menginap selama tiga hari, selebihnya adalah sedekah bagi dirinya. Seorang tamu dilayani oleh tuan rumah selama tiga hari. Jika tamu menginap lebih dari tiga hari, tuan rumah tidak wajib untuk melayaninya. Bila tuan rumah masih melayaninya, maka ia memperoleh pahala bersedekah.
Abu Syuraih al-Adawiy berkata:
AI-Jaizah adalah al-minhah wa al-athiyah (persembahan dan pemberian).
Dari Syuraih al-Ka’biy dituturkan bahwasanya Nabi SAW. bersabda:
Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, jamuannya satu hari satu malam, dan melayani tamu itu tiga hari, dan setelah itu adalah sedekah. Tidak halal bagi tamu menginap hingga ia menyulitkannya (tuan rumah) (HR. Imam Bukhari).
Para ulama berbeda pendapat atas hukum menjamu tamu. Imam Nawawiy menyatakan bahwa menjamu tamu termasuk perkara yang sangat dianjurkan dalam Islam (muakkadat al-lslaam). Imam Syafi’iy, Abu Hanifah, dan Malik dan mayoritas ulama menyatakan bahwa menjamu tamu hukumnya sunnah, bukan wajib. Imam al-Laits dan Ahmad, hukumnya wajib pada hari pertama. Imam Ahmad menyatakan wajib menjamu tamu pada hari pertama atas tamu yang berasal dari desa dan pelosok, dan tidak wajib atas tamu dari kota (Imam Abu Zakariya An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, Juz 12/30).
Jika seseorang menginap di rumah orang lain, kemudian ia khawatir akan menyusahkan atau membuat tuan rumah “sedikit terganggu” atas kehadirannya, maka ia harus mohon pamit dan tidak boleh berlama-lama di situ. Sebab, tidak pantas rasanya seorang tamu menyusahkan tuan rumahnya, atau membuat keluarga itu menjadi terbebani.
Baca juga: Inilah 4 Akibat Ghibah Bagi Kehidupan Bertetangga
Jika seorang tamu hendak berpamitan pulang, disunnahkan untuk saling berwasiat dalam kebaikan dan mendoakan. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Abu Sulaiman Malik bin AI-Huwairits ra berkata:
Dari ‘Umar bin Khaththab ra berkata:
Dari Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar ra bila bertemu dengan orang yang akan bepergian, ia berkata:
Dari Anas ra dikisahkan, ada seseorang mendatangi Nabi SAW. dan berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya akan berpergian, oleh karena itu saya minta bekal kepada tuan. “Rasulullah SAW. bersabda, “Semoga Allah membekali anda dengan takwa.” Orang itu berkata lagi, “Tambahlah bekal itu.” Beliau bersabda, “Semoga Allah mengampuni dosamu.” Ia berkata lagi, “Tambahlah bekal itu.” Rasulullah bersabda, “Semoga Allah memudahkan kebaikan kepadamu di manapun kamu berada.” (HR. Imam Tirmidziy. Beliau mengatakan hadits hasan).
Begitulah kehidupan generasi-generasi awal Islam. Mereka saling menasehati, berwasiat tentang kebenaran, dan saling mendoakan tatkala mereka hendak berpisah. Alangkah indahnya, jika sesama Muslim saling mendoakan dalam kebaikan, saling menasehati, dan berwasiat dalam ketakwaan, lebih-lebih lagi tatkala mereka hendak berpisah, atau bepergian jauh.
Waktu perpisahan adalah waktu yang paling berkesan dan membekas di dalam hati. Jika seseorang saling mendoakan dan menasehati dalam keadaan seperti itu, tentunya doa dan nasehat tersebut akan membekas di relung jiwa. Oleh karena itu, tatkala hendak berpamitan pulang, tamu dan pemilik rumah hendaknya saling menasehati dalam kebaikan dan kebenaran, serta saling mendoakan.
Baca juga: Fiqih Bertetangga: Hutang Piutang Dengan Tetangga
Daftar Pustaka
Syamsuddin Ramadlan an-Nawiy, Fathiy (2018). Fiqih Bertetangga. Bogor: Al Azhar Fresh Zone Publishing.